Kasus Ancaman Pembunuhan
Oleh Frans Anggal
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sikka Bernadus Nita mengejar stafnya Wens Maring dengan sebilah parang, Rabu 30 Maret 2011. Polisi turun tangan. Bupati Sosimus Mitang tugaskan Asisten II Setda Blasius Pedor memediasi penyelesaian masalah (Flores Pos Kamis 31 Maret 2011).
Motif kasusnya belum jelas. Kadis Bernadus Nita menolak diwawancarai. Korban Wens Maring pun tidak tahu apa biang keroknya. Kejadiannya di kantor, pada jam dinas. Wens dkk duduk di ruang komputer. "Saya tidak main-main komputer. Hanya, saat kadis datang, mouse komputer saya sentuh dengan tangan. Kadis kira saya main komputer. Lalu (kadis) bentak saya."
Setelah dibentak, Wens keluar ruangan. Ia tetap dibuntuti sang kadis. "Saat saya ngobrol dengan teman-teman, kadis tiba-tiba lari menuju mobilnya dan mengambil sebilah parang. Saya dikejar kadis sampai dua kali sambil bawa parang." Wens bertekad bikin laporan polisi. "Saya dikejar dengan parang. Ini membuat saya terancam. Kenyamanan saya terganggu."
Apa pun motifnya, tindakan Kadis Nita tidak dapat dibenarkan. Hukum dan moral pasti mendakwanya bersalah. Lain halnya kalau dia dalam kedaaan gila. Orang gila tidak dapat menjadi subjek hukum. Mereka dianggap tidak bebas dan tidak sadar melakukan sesuatu, sehingga tidak dapat pula dimintai pertanggungjawaban.
Apakah Kadis Nita dalam kedaan seperti itu, sehingga tidak perlu dimintai pertanggungjawaban? Pertanyaan ini sebentuk dukungan terhadap tekad Wens Maring melapor ke polisi. Sang kadis perlu dipolisikan, bukan hanya karena pelapornya terancam, tapi juga karena sang pelaku tidak sedang dalam keadaan gila. Kalau gila, ia tidak perlu "di-polisi-kan". Cukup "di-psikiater-kan".
Sejauh diberitakan Flores Pos, ini kasus kedua dalam tiga bulan terakhir. Melibatkan orang yang sama: Kadis Bernadus Nita. Memperlihatan tingkah laku yang sama pula: temperamental. Awal Januari 2011, tiga wartawan di Maumere melaporkan kadis ini ke polisi. Ia diduga melakukan pelecehan lewat kata-kata. Dia bilang, dia tidak punya uang untuk bayar wartawan. Orang pers biasa datang minta uang. Ia menyuruh ketiga wartawan minta uang ke pihak lain (Flores Pos Selasa 4 Januari 2011).
“Bentara” Flores Pos Rabu 5 Januari 2011 menegaskan sang kadis salah sangka. Sesat pikir. Gegabah menggeneralisasi. Seolah semua wartawan tukang minta uang. Ia tak pandai pula kendalikan diri. Apa yang ada di otak langsung disemburkan ke luar. Ia buruk berucap, setelah gagal bernalar.
Tentang dia, Bupati Sosi Mitang telah nyatakan kekecewaan. "Saya sudah bosan dengan sikap bawahan saya ini. Ia sering melakukan aksi tak terpuji, termasuk dengan bawahannya. Apa yang keluar dari mulutnya harus bisa dipertanggungjawabkan. Saya akan segera panggil dia" (Flores Pos Selasa 4 Januari 2011).
Halo, Pak Bupati. Inikah hasilnya? Setelah Bapak panggil dan bina orang yang sikapnya sudah membuat Bapak bosan itu, sekarang orang yang sama melakukan aksi yang lain. Mengejar stafnya dengan parang. Pembinaan Bapak terbukti tidak mempan. Orang ini perlu segera diganti.
Ia juga perlu diproses hukum. Untuk itu, tekad stafnya Wens Maring melapor ke polisi patut didukung. Tentu, tetap disertai mental reserve, siap batin untuk 'kecewa'. Belajar dari kasus sang kadis dengan tiga wartawan. Mulanya para wartawan ngotot memproses hukum. Eh, akhirnya diselesaikan di meja makan.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 2 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar