Ini Negara Demokrasi atau Negara Moral?
Oleh Frans Anggal
Perayaan Paska 2011 telah lewat. Suasana "tertentu" ikut berlalu. Seperti dilansir media nasional, perayaan Paska di Jakarta, 23-24 April 2011, diwarnai siaga satu. Penjagaan ketat oleh aparat keamanan. Indonesia kembali dihantui teror.
Pekan sebelumnya, Senin 14 April, gereja Katolik di Taluk Kuantang, ibu kota Kabupaten Kuatan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau, dibakar massa, usai rapat pleno KPUD. Peristiwa ini mengesankan, terhadap minoritas, teror di negeri ini tidak hanya bisa muncul kapan saja dan di mana saja. Tapi juga bisa muncul karena alasan apa saja.
Dalam masalah izin mendirikan bangunan (IMB), gereja bisa dibakar: kasus di Kecamatan Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, Januari 2010. Dalam masalah vonis di pengadilan, gereja bisa dibakar: kasus di Temanggung, Jawa Tengah, Februari 2011. Dalam masalah penetapan pemenang pemiluada di KPUD, gereja bisa dibakar: kasus di Taluk Kuantang, April 2011.
Yang menarik, ketika peristiwa terjadi, para elite selalu tidak mengakuinya sebagai peristiwa SARA. Faktor agama sebagai sumber konflik sosial selalu ditutup-tutupi. Padahal, semuanya itu kasat mata.
Tentang kasus di Taluk Kuantang, misalnya, Gubernur Riau Rusli Zainal mengataan, pembakaran gereja dalam peristiwa ini bukan karena SARA. Pertanyaan kita: kalau bukan karena faktor SARA, mengapa massa harus membakar gereja?
Terhadap pertanyaan seperti ini, bisa muncul jawaban "klise". Yakni bahwa: agama hanyalah alat yang dipakai oleh para elite politik dan elite agama untuk mempertahankan status quo serta memperjuangkan kepentingan politik dan ekonomi mereka. Simbol-simbol agama dieksploitasi untuk membakar semangat destruktif umat, yang bermuara pada konflik horizontal bernuansa SARA.
Jawaban ini cenderung mengabaikan kenyataan yang justru semakin telanjang di negeri ini. Yakni bahwa agama, dengan keyakinan dan warisan pemahaman teologis tertentu, juga menjadi sumber utama kekerasan sosial. Bahkan, keyakinan dan warisan pemahaman teologis tertentu itu menyuburkan teologi politik diskriminatif.
Pro-kontra UU Sidiknas dan UU Pornografi, misalnya, merupakan cetusan alam bawah sadar kolektif seperti ini. Alam bawah sadar yang masih sangat kuat dan mungkin semakin kuat menganut teologi politik diskriminatif. Salah satu ciri utamanya adalah fobia pada umat beragama lain. Si yang lain (the other) dipandang sebagai ancaman, bukan pemerkaya dan peneguh eksitensi diri. Apalagi sebagai pewahyuan wajah Sang Yang Lain (The Other).
Karena dipandang sebagai ancaman, maka si yang lain harus ditiadakan. Karena hanya boleh ada satu ada, maka ada yang lain tidak boleh ada. Teologi politik seperti ini, di satu sisi melawan kemanusiaan, di sisi lain mengerdilkan kebesaran Tuhan. Seolah-olah Yang Mahabesar itu buta warna dan hanya mengenal satu warna atas khalik ciptaan-Nya.
Atmosfer seperti ini sangat terasa akhir-akhir ini. Maka, tidak mengherankan, di negeri ini umat lebih penting ketimbang warga negara. Mayoritarianisme lebih penting ketimbang kedaulatan rakyat. Pendidikan akhlak lebih penting ketimbang pendidikan akal sehat. Kesantunan lebih penting ketimbang kritisisme. Dan kita pun menjadi bingung: Indonesia ini negara demokrasi ataukah (sudah menjadi) negara moral.
Paska telah lewat. Kebingungan belum berakhir. Suasana "tertentu" itu mungkin akan datang lagi.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 26 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar