29 April 2011

Mogok di RSUD Ende

Kenapa Tidak Tempuh Cara Lain?

Oleh Frans Anggal

Lebih kurang dua jam para perawat di RSUD Ende mogok kerja. Mereka menuntut pembayaran tambahan penghasilan yang tunggak empat bulan. Mereka juga minta kenaikan tambahan penghasilan. Aksi ini nyaris melumpuhkan pelayanan RSUD. Pelayanan poliklinik hanya dilakukan dokter dan sejumlah PNS non-perawat. Setelah berdilaog dengan Direktris RSUD Yayik Prawitra Gati, mereka paham dan siap bekeja seperti biasa (Flores Pos Rabu 27 A[ril 2011).

Dalam catatan Flores Pos, ini kejadian kedua yang menimpa RSUD di Flores-Lembata dalam lima tahun terakhir. Sebelumnya, Januari 2008, mogok kerja menimpa RSUD Lewoleba. Pelakunya personel paramedis dan nonmedis. Mereka menuntut, dana jasa pelayanan sembilan bulan segera dibayar. Aksi mereka menyebabkan pasien benar-benar terlantar.

Akhir kisahnya sama. Setelah berdialog dengan atasan, mereka paham lalu kembali bekerja seperti biasa. Berbeda dengan yang terjadi di RSUD Ende, mogok di RSUD Lewoleba melibatkan semua karyawan. Pelayanan lumpuh total. "Pasien menunggu terlalu lama. Kalau mau urus kewajiban, atur yang baik, jangan begini caranya, menelantarkan pasien", kata seorang keluarga pasien.

Pembandingan ini tidak hendak menyatakan mogok di RSUD Ende lebih baik. Kedua aksi itu sama-sama buruk dan salah. Buruk, karena melanggar etika, yakni Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (Koderasi). Salah, karena melanggar hukum, yakni UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Koderasi mengharuskan rumah sakit mengindahkan hak-hak asasi pasien. Antara lain, hak atas pelayanan kesehatan yang optimal. Mogok yang potensial dan aktual menyebabkan pasien terlantar jelas melanggar kode etik yang mengamanatkan pemberian pelayanan kesehatan optimal.

Di seberang lain, UU tentang Kesehatan dan Rumah Sakit telah mengatur hak-hak pasien. Kedua UU ini mengamanatkan, tiap orang berhak mendapatkan kesehatan optimal. Bagaimana mungkin itu didapat kalau mereka terlantar akibat sebuah aksi mogok di rumah sakit?

Dengan spirit yang sama, UU Perlindungan Konsumen menegaskan masyarakat konsumen, dalam hal ini pasien, berhak atas keselamatan, keamanan, dan kenyamanan dalam pelayanan jasa yang diterimanya. Keselamatan, keamanan, dan kenyamanan itu hak. Maka, boleh diklaim. Bahkan wajib diklaim, agar pasien terlindungi dari kemungkinan pelayanan kesehatan yang tidak bertanggung jawab, antara lain penelantaran.

Atas pijakan etika dan hukum ini, kita mendukung pernyataan Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kabupaten Ende, Hendrikus Mbira. Aksi mogok yang dilakukan perawat di RSUD Ende seharusnya tidak terjadi. Upaya menuntut hak hendaknya tidak sampai menelantarkan pelayanan pasien.

Atau, secara lain, diungkapkan Direktur RSUD Lewoleba Dokter Maryono, tahun 2008. "Lain kali jangan begini lagi. Utus saja beberapa orang datang untuk sampaikan. Jangan semua. Kasihan pasien harus menunggu."

Pada mogok di RSUD Ende, sejauh diberitakan Flores Pos, Direktris Yayik Prawitra Gati tidak menyampaikan opininya tentang tingkah laku para bawahan. Ia tidak menyatakan penilaiannya. Namun, sebagai pemimpin (kepala rumah sakit) dan dokter (profesi pelindung manusia), ia pasti prihatin. Dan kita yakin, keprihatinan itulah yang mendorongnya membangun komunikasi sukses. Sehingga, mogok hanya dua jam. Dan tidak sampai melumpuhkan pelayanan.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 28 April 2011

Tidak ada komentar: