Perkelahian Berdarah di Manggarai
Oleh Frans Anggal
Perkelahian antarwarga di Desa Ruang, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Rabu 13 April 2011, menelan korban jiwa: 3 tewas dan 10 luka-luka. Perkelahian terjadi di pekuburan umum di Lingko Langke Norang antara orang Hero Koe dan orang Ruang. Motif perkelahian masih dalam penyelidikan Polres Manggarai (Flores Pos Kamis 14 April 2011).
Konon, para patikai masih bertalian keluarga. Hari itu, orang Hero Koe menyelenggarakan ritus adat di pekuburan umum. Saat ritus berlangsung, datanglah orang Ruang. Mereka mempersoalkan ritus itu. Rupanya (karena) mereka tidak diundang atau dilibatkan. Timbullah pertengkaran, lalu perkelahian.
Tampaknya, perkelahian berdarah itu timbul tidak hanya karena pertengkaran di kuburan. Pertengkaran hanyalah insiden pemicu (casus belli). Akarnya, pasti, masalah lain. Mungkin masalah tanah pekuburan, tempat ritus berlangsung. Atau sengketa lain, yang berkaitan atau dikaitkan dengan tanah pekuburan dan ritusnya.
Kedua warga datang dari kampung masing-masing, Hero Koe dan Ruang. Mereka menuju lokasi yang sama, Lingko Langke Norang. Dengan tujuan yang berbeda. Orang Hero Koe datang untuk selenggarakan ritus. Orang Ruang datang untuk persoalkan ritus. Kenapa ritus itu memicu konflik?
Dalam budaya Manggarai dan Flores umumnya, ritus adat berkaitan erat dengan status adat, khususnya kepemilikan. Hanya yang berstatus tuan atau pemilik atas tanahlah yang berhak menyelenggaran ritus di atas tanah. Terutama kalau tanah itu tanah warisan leluhur (mbate dise ame, redong dise empo).
Menurut maknanya paling asli, tanah warisan leluhur itulah adalah "tanah tumpah darah". Kenapa "tumpah darah"? Di atas tanah itulah, darah "telah ditumpahkan" saat seseorang dilahirkan. Dan di atas tanah itu pulalah, darah "siap ditumpahkan" saat seseorang menghadapi setiap ancaman penyerobotan.
Sikap "siap tumpah darah" mempertahankan "tanah tumpah darah" semakin mengental manakala tanah itu memiliki banyak nilai. Mislanya, nilai historis, kalau tanah itu bagian tak terpisahkan dari sejarah awal keberadaan suku. Nilai religious, kalau tanah itu memiliki situs, seperti kubur nenek moyang. Nilai ekonomis, kalau tanah itu telah ditumbuhi banyak tanaman pedagangan.
Untuk mempertahankan atau merebut (kembali) tanah benilai tinggi dan luhur itu, orang sering tidak takut untuk mati. Tidak takut untuk membunuh dan dibunuh. Pilihannya sering begitu sempit. Sesempit pilihan seorang serdadu di palagan: 'membunuh atau dibunuh' (to kill or to be killed). Kalah mata, kalah nyawa.
Pada 1980-an, ketika Manggarai penuh perang tanding dalam sengketa tanah, suasana "siap tumpah darah" itu sangat terasa. Muncullah istilah "pengadilan di tempat". Ini tandingan terhadap "pengadilan di kantor". Sekaligus kritik atas praktik peradilan yang mudah disogok. Masyarakat tidak percaya lagi pada lembaga hukum. Maka, mereka ciptakan peradilan sendiri: peradilan di lokasi sengketa. Hasilnya: yang kalah masuk kubur (karena dibunuh). Yang menang masuk penjara (karena membunuh).
Kita khawatir, suasana seperti itu kini datang lagi. Dalam beberapa kasus, suasananya mengental di Keca¬matan Satar Mese dan Satar Mese Barat. Bukan tidak mungkin menular ke wilayah lain. Sebagaimana pada 1980-an, "pengadilan di tempat" melahirkan demonstration effect, sehingga menjalar dan marak. Tantangan bagi pemkab dan gereja. Keduanya perlu bergandeng tangan.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 15 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar