14 Maret 2009

Jangan Obral Janji

Oleh Frans Anggal

Pilkada Sikka sudah pada tahap kampanye. Sementara pilgub NTT memasuki pendaftaran paket calon. Jauh sebelum itu, para bakal calon sudah berkampanye terselubung yang bernama halus ‘sosialisasi’. Selama sosialisasi, mereka lakukan dua hal. “Penyajian diri” (self presentation) dan “pembentukan citra” (image building).

Bakal calon menyajikan diri agar dikenal publik. Salah satu alasan dipilih dalam pilkada adalah dikenal masyarakat. Banyak survei menjadikan keterkenalan sebagai indikator popularitas bakal calon. Hasil survei yang dipublikasikan akan menjadi acuan publik. Besarnya persentase popularitas membuat masyarakat berbondong-bondong mengarahkan dukungan kepada sang bakal calon. Masyarakat beranggapan inilah calon yang berpotensi menang.

Sedangkan dalam pembentukan citra, si bakal calon sudah dikenal, mungkin karena sebagian dari mereka pejabat atau mantan pejabat publik atau orang yang telah mendapat liputan media jauh sebelum mereka berniat maju dalam pilkada. Maka, yang mereka lakukan bukan lagi untuk sekadar dikenal, tapi untuk dikenal sebagai orang baik, memiliki kemampuan, jujur, bersih, dan lain-lain.

Pada saat kampanye sesungguhnya, pembentukan citra ini berseiringan dengan upaya merebut sebanyak mungkin dukungan publik. Saking bersemangat, para calon tergelincir ke obral janji. Mereka memberi kesan seakan-akan semuanya mudah mereka atur kalau mereka terpilih. Sedangkan publik tinggal tunggu terima hasil. Cara berkampanye seperti ini sangat tidak menghargai publik. Anggota masyarakat dianggap berada di ruang hampa sosial, tidak sebagai organisme aktif, dinamis, rasional, dan otonom.

Kampanye model ini efektif untuk publik yang naif. Umumnya, publik yang berpotensi dipengaruhi pesan-pesan kampanye seperti ini adalah mereka yang minim informasi, terisolasi, kekurangan akses pada pendidikan, dan berada dalam posisi mengambang.

Publik yang naif berbeda dengan publik yang kritis. Publik kritis tidak mempercayai obral janji. Mereka lebih mencermati visi, misi, dan program sang calon. Penilaian atasnya akan selalu dikaitkan dengan apa yang menjadi harapan masyarakat umum. Dalam konteks masyarakat kita, harapan itu tidak jauh-jauh dari pendidikan murah, pelayanan publik yang memuaskan, biaya kesehatan yang terjangkau, peningkatan ekonomi masyarakat, keadilan hukum, dan lain-lain. Pertanyaan mereka: apa program konkret Anda atas berbagai harapan kami?

Baik publik naif maupun publik kritis sebenarnya tahu, tidak satu pun calon mampu mewujudkan semua yang diprogramkan. Kendati demikian, mereka juga tahu, program lebih berarti ketimbang janji. Program adalah proyek masa depan. Sedangkan janji, seperti biasa, adalah pepesan kosong. Karena itu, jangan coba-coba obral janji.

"Bentara" FLORES POS, Kamis 10 April 2008

Tidak ada komentar: