Larangan bagi Merpati M 60
Oleh Frans Anggal
Tiga bandara di NTT tidak lagi didarati Merpati M 60. Bandara Frans Sales Lega di Ruteng, Bandara H. Hasan Aroeboesman di Ende, dan Bandara Umbu Mehang Kunda di Waingapu. Pemberlakuannya sejak Kamis 26 Mei 2011 (Flores Pos Jumat 27 Mei 2011).
Ini instruksi Kemenhub RI kepada Merpati. Tindak lanjut dari special safety audit, pasca-jatuhnya MA 60 di perairan Kaimana, Papua Barat. Isinya: tidak mengoperasikan pesawat MA 60 pada bandara yang memiliki obstacle yang tinggi dan yang memerlukan high manuver seperti bandara Ruteng-NTT, Ende-NTT, dan Waingapu-NTT, sampai hasil evaluasi yang mendetail menunjukkan bandara tersebut aman untuk diterbangi pesawat MA 60.
Publik cenderung simpulkan, ini larangan terbang bagi Merpati M 60. Karena dilarang, M 60 itu diyakini tidak aman. Adapun "bukti"-nya, kecelakaan di perairan Kaimana. Simpulan seperti inilah yang hendak dicegah Dirut Merpati Nusantara Airlines Sardjono Jhony Tjitrokusumo. "Sebetulnya tidak dilarang terbang. Tapi, hanya diinstruksikan jangan beroperasi dulu di daerah NTT karena bandar udaranya memiliki obstacle yang tinggi dan memerlukan high manuver" (VIVAnews.com).
Larang terbang dan instruksi tidak terbang, apa bedanya? Tidak ada. Dan sesungguhnya tidak ada masalah dengan istilah itu. Yang menjadi masalah, alasannya. Dari alasannya, tampak, persoalannya bukan pesawat, tapi bandara. Tiga bandara di NTT itu punya tingkat kesulitan tinggi. Kesulitan tinggi itu menun¬tut manuver tinggi. Manuver tinggi mengandung risiko tinggi.
Sekadar contoh, Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Herry Bakti menyebut bandara di Ende. Kedua sisi bandara itu diapiti gunung. Di ujung landasan terdapat batu karang. "Pokoknya agak sulit untuk didarati oleh pesawat," kata Herry (detikNews.com).
Kalau yang jadi masalah bandaranya, muncul pertanyaan: kenapa hanya M 60 yang dilarang? Kenapa tidak sekalian melarang semua jenis pesawat? Ada apa dengan M 60 sehingga hanya jenis inilah yang tidak boleh menyinggahi Ruteng, Ende, dan Waingapu?
MA 60 itu buatan China. Tempat duduknya lebih banyak dari CN 235 buatan Indonesia, sekitar 50 kursi. Pesawat ini dibuat pada 2009 dan digunakan Merpati sejak akhir 2010. Pesawat ini gunakan mesin PW 127J. Kinerjanya mirip ATR buatan Perancis. Kekhasannya, punya baling-baling mirip pedang. Instrumennya berkategori II dengan standar hampir sama dengan Boeing 737-800-NG.
Profil tersebut memberi kesan, MA-60 lebih baik daripada CN 235. Ini dilawan oleh Hari Laksono, mantan direktur Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN). Menurut dia, kualitas MA 60 masih di bawah CN 235. "CN 235 sudah dapat sertifikat dari FAA. MA 60 ini kan belum" (KOMPAS.com).
Apakah karena masalah kualitas inikah MA 60 dilarang mendarati tiga bandara di NTT? Lalu, untuk jaga citra Merpati, bandara di NTT "dipersalahkan", sedangkan MA 60 tidak? Kalau benar seperti ini, Kemenhub tidak jujur. Juga tidak adil.
NTT perlu bereaksi. Jangan diam saja. Desak pusat, agar tidak hanya "mempersalahkan" bandara di NTT. Bantulah NTT agar punya bandara yang layak. Kelayakan inilah yang memprihatinkan.
NTT memiliki pelabuhan dan bandara terbanyak di Indonesia. Terdapat 14 bandara, 1 pelabuhan laut internasional, 9 pelabuhan laut nasional, 11 pelabuhan regional, dan 21 pelabuhan lokal, total 42 pelabuhan. Jumlah yang luar biasa. Namun, apa artinya punya banyak kalau banyak yang tidak layak.
”Bentara” FLORES POS, Sabtu 28 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar