24 Mei 2011

Gubernur Harus Cekatan

Sengketa Tapal Batas Ngada-Matim

Oleh Frans Anggal

Wilayah tapal batas Kabupaten Manggarai Timur (Matim) dan Kabupaten Ngada memanas. Sepekan terakhir beredar rumor, masyarakat di perbatasan mau menancapkan pilar induk dan setelah itu menyiapkan batu pasir untuk membangun gapura di Wae Bakit yang saat ini masuk Manggarai Timur (Flores Pos Senin 23 Mei 2011).

Sabtu 21 Mai 2011, tim Pemkab Matim turun ke perbatasan. Untuk memantau dari dekat kegiatan warga di wilayah antara jembatan Wae Bakit dan Wae Bong. Pada kesempatan itu, Bupati Matim Yoseph Tote dan Bupati Ngada Marianus Sae melakukan pertemuan di Bakit. Sayang, dalam pertemuan itu mereka tidak mencapai titik temu.

"Pembicaraan tentang batas harus dengan gubernur NTT yang memiliki kewenangan untuk itu sesuai dengan amanat undang-undang," kata Ketua DPRD Matim John Nahas. Pembicaraan tentang batas akan dilakukan di Kupang bersama gubernur NTT, kata Kasat Pol PP Matiam Stefanus Jaghur.

Mencapai titik temu, tidaklah mudah. Apalagi hanya dalam sekali pertemuan, dalam kondisi darurat. Pada momen awal seperti ini, para pihak masih sangat protektif menjaga posisi masing-masing. Boleh dibilang mereka masih defensif dan menutup diri. Belum terbuka dan kritis memahami posisi pihak lain. Dengan demikian, mereka bertemu, tapi tidak berdialog. Mereka hanya bermonolog, secara bergilir.

Seandainya kedua bupati semakin sering bertemu, ceritanya mungkin lain. Monolog akan menjadi dialog. Semakin sering dialog terjalin, semakin cepat kesepahaman terwujud. Semain cepat kesepahaman terwujud, semakin mudah kesepakatan tercapai. Tapi ini hanya mungkin kalau syarat lain terpenuhi. Gubernurnya cekatan. Ini yang tidak terjadi.

Kita harus mengakui: dalam sengketa tapal batas Matim-Ngada setahun terakhir, gubernur absen. Provinsi NTT seperti tidak punya gubernur. Sejak 27 April 2010, ruas jalan provinsi di perbatasan diblokir sekelompok orang. Akses ekonomi dan transportasi di wilayah itu macet total. Anarkisme berlangsung satu tahun lebih. Tidak ada tindakan apa pun.

Setahun lalu, Gubernur Frans Lebu Raya bilang, penyelesaian sudah dimulai. Kedua bupati sudah paparkan peta wilayah. Kemudian akan dibentuk tim yang libatkan tokoh masyarakat dan elemen lain dari kedua kabupaten. Pemprov memilih pendekatan kesehatian. Bukan jalur hukum. Jalur hukum bisa membawa ekses buruk (Flores Pos Sabtu 31 Juli 2010).

Setahun lewat, mana hasilnya? Tidak ada. Jangankan menyelesaikan sengketa tapal batas, mengakhiri pemblokiran jalan saja tidak. Yang terjadi malah ini: enam bulan setelah pernyataan "penyelesaian sudah dimulai" itu, muncul pernyataan baru.
Penyelesaian sengketa tapal batas dengan pendekatan kesehatian membutuhkan banyak waktu. Tidak bisa pula dilakukan secara top-down 'dari atas ke bawah'. Karena itu, semua pihak diharapkan bersabar (Flores Pos Rabu 26 Januari 2011).

Bersabar? Kasus ini sudah berusia 37 tahun lebih. Pemblokiran jalan sudah berumur satu tahun lebih. Akses ekonomi dan transportasi di wilayah perbatasan macet total selama setahun lebih. Politisasi kasus oleh wakil rayat demi mendapat simpati konstituen wilayah perbatas semakin menggila. Menghadapi semua ini, kita diminta tetap bersabar? Yang benar saja!

Oke. Kita setuju. Bersabar. Tapi ada syaratnya. Dalam kebersabaran kita, gubernur harus cekatan. Bukan memilih posisi aman, absen. Kita setujui sabar yang solutif. Bukan sabar yang manipulatif.

”Bentara” FLORES POS, Selasa 24 Mei 2011

Tidak ada komentar: