Eufemisme dalam Kasus Korupsi
Oleh Frans Anggal
Dalam kasus korupsi, kata "fiktif" begitu laris. Digunakan oleh hampir semua kalangan. Termasuk aparat penegak hukum. Penggunaannya tercermin dalam pemberitaan media. Kita ambil dua contoh.
Pertama, berita dari Kabupaten Manggarai. "Jaksa Terus Pulbaket Dugaan SPPD Fiktif" (Flores Pos Senin 9 Mei 2011). Diberitakan, Kejari Ruteng terus lakukan pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket) kasus dugaan SPPD fiktif di lingkup Pemkab Manggarai tahun 2010. Total dana SPPD ini Rp1,3 miliar. Sekitar 40 saksi dari PNS dan tenaga honorer telah diperiksa tim tipikor.
Kedua, berita dari Kabupaten Sikka. "Bendahara Kesra Mengaku Buat Kuitansi Fiktif" (Flores Pos Kamis 12 Mei 2011). Berita ini mewartakan keterangan Bendahara Bagian Kesra Setda Sikka Yos Otu saat diperiksa Pansus DPRD dalam kasus dugaan kurupsi dana bansos 2009 senilai Rp10,7 miliar. "Dari 29 kuitansi, ada yang fiktif. Saya buat kuitansi fiktif untuk menutupi utang barang dari pihak ketiga."
Berita pertama: SPPD fiktif. Berita kedua: kuitansi fiktif. Apa arti "fiktif"? Kamus Besar Bahasa Indonesia artikan "fiktif" bersifat fiksi; hanya ada dalam khayalan. The Lexicon Webster Dictionary artikan "fiksi" (fiction) hasil imajinasi. Karena itu, makna lain dari "fiksi" adalah cerita rekaan. Mencakup roman, novel, cerpen, drama, film, sinetron, dll. Semua ceritanya cerita fiktif.
Pertanyaan kita: apakah yang fiktif itu selalu buruk dan jahat? Kalau iya, maka kita harus basmi semua roman, novel, cerpen, drama, film, sinetron. Bila perlu, agar tandas dan tuntas, kita cabut akarnya. Yaitu, imajinasi. Dan karena imajinasi hanya ada pada manusia, maka sekalian saja kita musnah-massal-kan manusianya. Termasuk diri kita sendiri.
Dengan ini, kita mau katakan, yang fiktif tidak otomatis buruk dan jahat. Mengonotasikan yang fiktif itu buruk dan jahat merupakan kesalahan. Demikian pula, kesalahan besar, menyebut sesuatu itu fiktif padahal tidak fiktif. Kesalahan inilah yang terjadi dalam wacana pemberantasan korupsi. Contohnya, istilah dalam dua berita tadi. SPPD fiktif dan kuitansi fiktif.
Kata "fiktif" di sini sama sekali tidak tegas menunjukkan bahwa tindakan yang diterangkan kata itu buruk dan jahat. Kesannya seolah-olah begini: sebagaimana cerita fiktif tidak otomatis buruk dan jahat, demikian pula SPPD fiktif dan kuitansi fiktif. Jangan-jangan, suatu saat nanti, sebagai hasil imajinasi, SPPD fiktif dan kuitansi fiktif disejajarkan dengan roman, novel, cerpen, drama, film, sinetron.
Gejala apa yang terjadi dengan dua istilah ini? Eufemisme! Penghalusan ungkapan. Pelemahlembutan kata. Penyopansantunan bahasa. Yang begini-begini jagonya orang Indonesia. Rakyat lapar dihaluskan jadi rakyat "rawan pangan". Harga naik, oh bukan, harga "disesuaikan". Gaji tidak dibayar, oh bukan, gaji "belum" dibayar. Ditangkap polisi disebut "diamankan", padahal yang ditangkap itu tidak aman.
Disadari atau tidak, mekanisme psikologi berbahasa seperti itu jugalah yang terjadi ketika kita menghaluskan, melemahlembutkan, menyopan¬santunkan tindak kejahatan korupsi. SPPD tipu-tipuan koq disebut SPPD fiktif. Padahal itu SPPD palsu. Kuitansi bohong-bohongan kog disebut kuitansi fiktif. padahal itu kuitansi palsu.
Kata "palsu" lebih jelas, lebih tegas, dan lebih tepat menunjukkan dimensi kejahatan dari tindakan itu. Sebaliknya kata "fiktif" hanya mengaburkannya, untuk kemudian, mungkin, menguburkannya. Simaklah KUHP. Yang ada di sana hanyalah istilah “pemalsuan”. Tidak ada istilah “pemfiktifan”. Hmmm.
”Bentara” FLORES POS, Jumat 13 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar