Ganti Rugi Tanah SDK Hale
Oleh Frans Anggal
Pemkab Sikka belum penuhi janji, membayar uang pengganti lokasi tanah SDK Hale Rp70 juta kepada pemiliknya Silvester Sil. Pada 28 Maret 2011, Kadis PPO Yohanes Rana dan Silvester Sil bersama kuasa hukum sudah sepakati tenggat pembayaran: 28 April 2011. Tanggal jatuh tempo tiba. Eh, belum bisa bayar. Tunda satu bulan lagi (Flores Pos Kamis 5 Mei 2011).
"Kadis PPO meminta penundaan pembayaran satu bulan lagi dengan alasan, uang sementara dibahas di DPRD," kata Antonius Stefanus, kuasa hukum pemilik tanah. Pemilk tanah terima penundaan ini. Padahal, kalau mau ketat dengan kesepakatan, dia bisa menyegel sekolah itu. Dan itu berarti ujian nasional tidak bisa diselenggarakan di sana.
Sebulan sebelumnya, sejak 24 Maret, sekolah ini lumpuh total karena disegel si pemilik tanah. Alasannya: pemerintah tidak patuhi putusan PN Maumere yang dikukuhkan putusan PT Kupang dan kasasi MA. Putusan tersebut perintahkan pemerintah membayar ganti rugi tanah dan tanaman. Empat hari kemudian, 28 Maret, kedua belah pihak bersepakat.
Pertama, pembayaran akan dilakukan dalam satu bulan,dengan tenggat 28 April 2011. Kedua, pemerin¬tah diizinkan membongkar palang penyegelan, sehing¬ga kegiatan sekolah kembali normal. Ketiga, apabila pemerintah tak penuhi janji pembayaran maka pemilik tanah akan menyegel semua ruang kelas, ruang kantor, ruang guru, dan gerbang masuk sekolah.
Kenyataannya, satu bulan kemudian, pemerintah tidak bisa penuhi janjinya. Apa yang terjadi? Pemilik tanah menyegel? Tidak. Kenapa? Kalau itu ia lakukan maka ujian nasional di sekolah itu gagal. Kasihan anak didik, orangtua murid, dan masyarakat.
"Saya rasa klien saya sangat peduli akan dunia pendidikan, dan memiliki hati nurani akan masa depan anak didik, karena mereka adalah aset bangsa dan negara yang akan melanjutkan cita-cita dan perjuangan para pendahulu, sehingga mereka tidak boleh jadi korban karena pemerintah kurang serius dan kurang tanggap menyelesaian persoalan ini sejak 1984," kata Antonius Stefanus.
Kata-kata kuasa hukum ini sangat tepat. Tidak hanya tepat mengapresiasi kliennya, tapi juga tepat mengkritik pemerintah. Dua pihak itu diperhadapkannya dalam kontras. Si klien "sangat peduli" dan "memiliki hati nurani", sedangkan si pemerintah "kurang serius" dan "kurang tanggap".
Pemerintah kurang serius dan kurang tanggap! Itu benar. Putusan MA bertanggal 28 April 2010. Bayangkan, selama hampir setahun Pemkab Sikka tidak memedulikannya. Tidak patuh. Diminta baik-baik, pemkab masa bodoh. Didesak dengan menyegel sekolah, barulah pemkab kaget. Dalam kekagetan, dan mungkin bercampur panik, pemkab berikan janji segera bayar. Sebulan lewat, eh, ternyata belum bisa juga. Maka, pembayaran ditunda lagi, janji lagi, bulan depan.
Pepatah Latin mengingatkan, periculum in mora. Bahaya mengintai dalam setiap penundaan. Dalam kasus ini, penundaan berikutnya akan membawa dampak lebih buruk. Pertama, sekolah itu akan ditutup total. Pemilik tanah mengancam akan memagarnya keliling. Kedua, pemkab semakin kehilangan kepercayaan (trust) di mata masyarakat. Ini awal dari sebuah akhir kekuasaan.
Kita mendesak Pemkab Sikka segera membayar apa yang merupakan hak orang. Tentang hak, tak ada diskusi. Hak hanya mengenal dua hal: klaim oleh pemangku hak dan pemenuhan oleh pengemban kewajiban. Keadilan terletak di situ. Kedamaian pun tersemai di sana. Maka: si vis pacem, para iustitiam. Kalau inginkan kedamaian, tegakkanlah keadilan.
"Bentara” FLORES POS, Jumat 6 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar