Penegakan Hukum dan Kondisi Empiris
Oleh Frans Anggal
Kejari Ruteng terus lakukan pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket) kasus dugaan SPPD fiktif di lingkup Pemkab Manggarai tahun 2010. Total dana SPPD 2010 adalah Rp1,3 miliar. Sekitar 40 saksi dari PNS dan tenaga honorer telah diperiksa tim tindak pidana korupsi (tipikor). Terperiksa mencakup pimpinan dan anak buah (Flores Pos Senin 9 Mei 2011)
Dari pemeriksaan, kata Kajari Gembong Priyanto, terlihat keterangan saksi yang satu berbeda dengan keterangan saksi yang lain. Terutama menyangkut lamanya bertugas sebagaimana tertera dalam SPPD.
Meski demikian, kejari belum bisa menarik simpulan. Banyak unsur harus dipenuhi. Yang tidak gampang, antara lain, pengecekan kebenaran pelaksanaan perjalanan dinas. Tiap tempat tujuan dalam SPPD harus didatangi. Perlu waktu, tenaga, dan biaya yang cukup. "Jangan-jangan biaya pengecekan itu jauh lebih besar dari nilai kerugian negara," kata Kajari Priyanto.
Awasan itu tidak mengada-ada. Hitunglah, selama 2010, total perjanan dinas semua instansi. Jangan-jangan tembus ratusan. Tempat tujuannya variatif. Dalam kabupaten, luar kabupaten. Dalam provinsi, luar privinsi. Dalam negeri, luar negeri. Kalau semua tempat ini harus didatangi tim tipikor, berapa kuat mereka? Kapan selesainya? Berapa biayanya?
“Jangan-jangan biaya pengecekan itu jauh lebih besar dari nilai kerugian negara," kata Kajari Priyanto. Tepat! Ia menyentuh persoalan penting. Bahwa, dalam kasus tertentu, penegakan hukum (law enforcement) pada akhirnya perlu dibatasi. Perlu dikompromikan dengan kondisi empiris.
Contoh yang menarik pernah dikemukakan sosiolog Ignas Kleden dalam artikelnya "Kontradiksi Legitimasi dan Legalitas" (Kompas Senin 2 Agustus 1999). Seandainya 75 persen pegawai dan pejabat pemerintah Indonesia lakukan korupsi, dan penegakan hukum yang tuntas harus dijalankan, maka semua mereka pasti masuk penjara. Muncul soal. Pertama, daya tampung penjara tidak akan cukup. Kedua, mesin birokrasi akan macet. Sebab, tidak bisa dilayani oleh 25 persen PNS yang tidak korupsi.
Dengan dampak penegakan hukum seperti ini, apakah korupsi harus dianggap tidak melanggar hukum? Tentu tidak. Contoh kasus di atas hanya hendak menekankan bahwa penegakan hukum perlu mempertimbangkan kondisi-kondisi empiris.
Dalam penegakan hukum kasus dugaan SPPD fiktif di lingkup Pemkab Manggarai, kondisi empiris itu mencakup banyak hal. Mulai dari jumlah kasus, jumlah personel tim tipikor, jangka waktu penyelidikan dan penyidikan, jarak yang harus ditempuh, dan biaya yang harus dikeluarkan.
Kondisi empiris itu perlu dipetimbangkan. Tidak untuk membatalkan penegakan hukum. Tapi untuk mengefektifkan dan mengefisienkannya. Sedemikian, sehingga yang diawaskan Kajari Priyanto tidak perlu terjadi: biaya penegakan hukum jauh lebih besar daripada nilai kerugian negara. Untuk itu, perlu ada skala prioritas. Pepatah Latin bilang, Aquila non capit muscas. Elang tidak menangkap lalat. Sebagai elang, kejari jangan incar pegawai kecil. Incarlah pejabat.
Itu akan lebih efektif dan efisien ketimbang incar semua pegawai, tapi tidak satu pun yang sukses. Jangan sampai, sudah sedemikian besar biaya yang dikeluarkan, eh, hasilnya belum bisa rampung dalam setahun. Maka proses hukum dugaan SPPD fiktif 2010 pun jadi "proyek multiyears" kejari. Kajari datang silih berganti, "proyek" itu tidak selesai-selesai. Kenapa? Karena sudah dijadikan mesin uang alias sapi perah.
"Bentara” FLORES POS, Selasa 10 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar