30 Mei 2011

Ketika Bupati Sosi Diperiksa

Kasus Dana Bansos Sikka 2009

Oleh Frans Anggal

Bupati Sikka Sosimus Mitang penuhi panggilan Pansus DPRD, Jumat 27 Mei 2011. Ia mengklarifikasi dana bansos 2009 senilai Rp10,7 miliar. Di hadapan pansus, ia nyatakan siap bantu pansus, dengan berikan data aliran dana bansos dan data-data pendukung lainnya (Flores Pos Sabtu 28 Mei 2011).

Ia juga nyatakan mendukung pansus untuk melacak dan menggali mendetail identitas penerima dana bansos, serta mengecek kebenaran aliran dana ke tiap kecamtan, sebagaimana dilaporkan mantan kabag kesra Servasius Kabu dan mantan bendahara pengeluaran rutin bagian kesra Yosep Otu.

Pernyataan bupati ini tampak sebagai pernyataan istimewa. Rupanya karena itulah media menjadikannya judul berita: "Bupati Sosi Siap Bantu Pansus". Seandainya pembaca hanya melihat judul ini dan tidak menyimak isi berita, kesan apa yang bisa muncul? Kesan sesat!

Kesan, bahwa bupati berbaik hati kepada DPRD. Dalam kesetaraan sebagai mitra dewan, ia mau bantu dan dukung kerja pansus. Sebagai pihak yang mau bantu, ia seakan-akan sedang berdiri di luar kasus. Seolah-olah, bersama DPRD, ia sedang mem¬pan¬sus¬kan dana bansos. Kesan ini bisa saja meng¬gumpal dalam benak publik. Juga dalam benak media. Sehingga, yang jadi judul berita adalah pernyataan "dukungan" bupati "kepada" pansus. Bukan pernyataan "keterangan" bupati "di hadapan" pansus.

Padahal, yang sesungguhnya terjadi: bupati diperiksa oleh pansus. Statusnya:terperiksa. Bukan mitra. Ia diperiksa, karena diduga terkait kasus. Ia diduga tarkait, karena namanya disebut-sebut oleh terperiksa sebelumnya: Servasius Kabu dan Yosep Otu. Dari mulut merekalah pansus mendapat keterangan. Bahwa, bupati turut gunakan dana bansos. Antara lain, saat kunjungan ke Jerman. Saat tugas di luar daerah. Saat kunjungan ke desa-desa. Juga saat pelantikannya menjadi bupati Sikka.

Sebagai terperiksa (bukan sebagai mitra!) di hadapan pansus, bupati bantah semua keterangan itu. "Saya tegaskan, saya tidak pernah meminta atau menerima dana seperti yang disampaikan itu." Tentang Rp50 juta dari Servasius Kabu untuk pelantikan bupati, ia bilang tidak tahu itu dana bansos. Yang ia tahu itu dana pribadi Kabu. "Tapi kalau uang itu dari dana bansos, maka bisa saya selesaikan secara keluarga dengan dia."

Tidak hanya bantah keterangan Kabu dan Otu. Bupati juga menyerang pribadi. "Perlu saya jelaskan, di saat kasus dana bansos ini muncul, mantan kabag kesra Servasius Kabu dan mantan bendahara Yos Otu sudah kalang kabut, sehingga sebut siapa saja, termasuk saya, yang mendapat alokasi dana itu."

Bupati pakai argumentum ad hominem. Ia serang Kabu dan Otu dengan penilaian psikologis. Bahwa kedua orang itu sudah kalang kabut. Karena sudah kalang kabut, mereka omong sembarang. Ka¬re¬na omong sembarang, mereka tidak patut dipercaya.

Pertanyaan kita: benarkah Kabu dan Otu sudah kalang kabut? Bernarkah orang kalang kabut pasti omong sembarang? Bupati telah sesat pikir. Ia letakkan ukuran pembenaran keterangan pada kondisi psikologis pribadi dan karakteristik seseorang.

Kita berharap pansus tidak terpengaruh. Tetaplah menganut argumentum ad rem (pada pokok soal). Dalam kaitan dengan itu, hindari argumentum ad verecundiam (pada pokok wibawa). Nilai penalaran tidak boleh ditentukan oleh keahlian atau kewibawaan orang yang mengemukakannya. Janganlah: karena bupati yang omong maka itulah yang benar. Sedangkan Kabu dan Otu pasti salah. Belum tentu!

”Bentara” FLORES POS, Senin 30 Mei 2011

Tidak ada komentar: