Corat-coret Pakaian Seragam
Oleh Frans Anggal
Di NTT, persentase kelulusan UN SMA/MA sederajat tahun ajaran 2010/211 adalah 94,43 persen. Meski meningkat dibanding tahun sebelumnya, ini masih di bawah target 95 persen. Dan secara nasional, NTT tertinggi dalam jumlah siswa yang tidak lulus UN (Flores Pos Rabu 18 Mei 211).
Kalau aneka data disandingkan dan dibandingkan, hasil ini akan tetap bikin NTT bersyukur. Meski kelulusannya tidak mencapai target, dan jumlah yang tidak lulus merupakan yang terbanyak secara nasional, tetap saja ada yang patut dibanggakan.
"Hasil yang dicapai merupakan prestasi tertinggi pertama yang pernah diraih Provinsi NTTT dalam hal persentase kelulusan UN tingkat SMA/MA," kata Kadis PPO NTT Thobias Uly di Kupang. Betapa tidak membanggakan. Ini prestasi tertinggi pertama.
Dengan penyandingan dan pembandingan data pula, Kabupaten Ende boleh tersenyum. Kelulusannya kali ini 78,66 persen untuk SMA/MA dan 86 persen untuk SMK. Meski tergolong terendah di NTT, persentase ini luar biasa. Sebab, melampaui target 75 persen. Bahkan naik beberapa kali lipat dari tahun lalu, yang hanya 25 persen. "Ini patut kita syukuri," kata Kadis PPO Ende Yeremias Bore.
Apa arti semuanya ini? Data, dalam hal ini angka kelulusan, bisa bikin kita sedih. Bisa juga bikin kita gembira. Tergantung dari cara kita memperlakukannya. Kalau kita sandingkan dan bandingkan 5 dengan 1, tentu 5 lebih tinggi. Sebaliknya, kalau kita sandingkan dan bandingkan 5 dengan 10, tentu 5 lebih rendah. Di hadapan 1, angka 5 itu hebat. Di hadapan 10, angka 5 itu tidak ada apa-apanya.
Persentase kelulusan UN pun seperti itu. Kita bisa mudah terkecoh dan lalu tergesa-gesa menyimpulkan sesuatu itu baik-buruk, sukses-gagal, meningkat-menurun, maju-mundur, dll. Persentase kelulusan UN itu angka. Dan angka bisa menyesatkan ketika banyak dimensi direduksi ke dalamnya. Itulah yang terjadi dalam pendidikan kita.
Kita masih andalkan UN sebagai penentu utama kelulusan. Dampaknya, orientasi utama siswa, guru, sekolah, dan pemerintah adalah UN. Bukan lagi penguasaan iptek. Akibat lebih lanjut, sekolah sekadar jadi tempat bimbingan tes. Kegiatan pokoknya adalah "mengajar" agar siswa bisa menjawab soal-soal latihan. Bukan "mendidik" agar siswa mampu memahami dan mengembangkan iptek serta memekarkan diri.
Buahnya mudah kelihatan. Antara lain, dari cara siswa merayakan hasil UN. Mereka mencorat-coret pakaian seragam, konvoi sepanjang jalan, bahkan ada yang mabuk-mabukan. Sebuah perayaan yang jauh dari citra bahwa mereka terdidik (well educated). Sebetulnya tidak mengherankan. Ini hasil logis. Di sekolah mereka tidak dididik koq. Cuma diajar. Sekolah mereka bukan lembaga pendidikan. Tapi, tempat bimbingan tes. Tempat menghadapi UN.
Ada kekecualian, tentu. Dan itu langka. Di Ende, pada pengumuman kelulusan UN SMA/MA, Senin 16 Mei 2911, hanya siswa SMAK Syuradikara yang tidak mencorat-coret pakaian seragam. Padahal, kelulusan mereka 100 persen. Reaksi mereka benar-benar terdidik. Mereka bersorak gembira, berangkulan, bersalaman. Itu saja.
Sekolah lain? Mengerikan. Bukan hanya pakaian seragam yang dicoret-coret. Wajah, rambut, tangan pun dicat warna-warni. Mereka dekil seperti buruh bangunan setengah preman. Mereka menari di jalanan. Beteriak seperti orang gila. Kebut-kebutan. Hmmm. Inilah hasil dari sekolah yang hanya mengajar tapi tidak mendidik. Yang hanya jadi tempat bimbingan tes. Salah satu dampak dari UN!
”Bentara” FLORES POS, Kamis 19 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar