Kasus Pemerkosaan Perempuan Cacat
Oleh Frans Anggal
Seorang gadis cacat,16 tahun, diperkosa Marianus Daeng Sapat, 20 tahun, warga Desa Wangka Selatan, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada, Selasa 26 April 2011. Kasus ini sudah dilaporan kakak korban ke Polsek Riung. Namun hingga Kamis, 27 April, pelaku belum ditangkap (Flores Pos Rabu 4 Mei 2011).
Dari usianya, korban adalah anak di bawah umur. Cacat pula. Kondisi ini tidak menghalangi niat si pemuda. Mungkin ada sedikit rasa bersalah, rasa iba dan tak tega. Namun semua perasaan itu takluk di bawah perasaan lain. Perasaan berkuasa.
Dengan ini, kita hendak melihat kekerasan seksual sebagai bentuk ketidakseimbangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Kekerasan seksual tidak hanya soal hasrat pemuasan seksual, tapi juga kehendak penundukan atau panaklukan. Dengan memperkosa perempuan, laki-laki menunjukkan kekuasaannya---yang notabene sudah lama melembaga dalam masyarakat.
Jadi, selain sebagai cara pemuasan seksual, pemerkosaan adalah juga media penegakan supremasi laki-laki. Di sini, perempuan dan anak bukan hanya korban, tapi juga ikon ketertundukan dan ketertaklukan itu.
Dengan ini pula, pemerkosaan sesungguhnya bisa bahkan sering terjadi dalam perkawinan yang sah (marital rape). Yakni berupa pemaksaan kehendak seksual suami terhadap istri. Pemaksaan itu sudah merupakan penaklukan atau penundukan. Di sini, taat pada suami disamakan dengan takluk pada suami.
Itu dalam situasi damai. Dalam situasi perang, kisahnya lebih mengerikan. Alexandra Stiglmayer dalam Mass Rape: The War Against Women in Bosnia-Herzegovina (1997) menulis, laki-laki bersenjata memperkosa karena ingin memperlihatkan kekuasaannya. Ia ingin menjadi pemenang dalam pertempuran. Ia memperkosa karena menganggap tubuh perempuan sebagai bagian dari pertempuran.
"Di berbagai wilayah konflik bersenjata seperti Bosnia Herzegovina dan Kroasia, Rwanda, dan lain-lain, pemerkosaan digunakan sebagai alat pembersihan etnis," tulis Stiglmayer. "Pemerkosaan di wilayah seperti itu tidak bisa dilihat sebagai insiden dari agresi militer, tetapi justru merupakan taktik atau strategi agresi," ia mengutip para ahli dari komisi PBB yang melakukan penyelidikan mengenai pemerkosaan di bekas negara Yugoslavia.
Kembali ke kasus pemerkosaan di Ngada. Tindakan si pemuda tentu tidak dalam konteks taktik atau strategi agresi yang dijelaskan Stiglmayer. Namun, ada kesamaannya. Yakni, dalam hal relasi kekuasaan antara pelaku dan korban. Relasi asimetris. Relasi antara si kuat dan si lemah. Antara si penakluk dan si tertakluk. Antara si pememang dan si pecundang. Relasi asimetris ini sesungguhnya telah lama tertanam dan melembaga dalam masyarakat.
Relasi asimetris ini semakin tidak simetris karena si korban tidak hanya perempuan dan anak di bawah umur, tapi juga seorang cacat. Bukankah di negeri ini orang cacat dianggap seolah-olah tidak ada? Tengoklah ruang-ruang publik: terminal, sekolah, kantor, dll. Semuanya tidak nyaman bagi kaum cacat. Tak ada ramp untuk kursi roda, guide block untuk tunanetra, atau petunjuk bagi tunarungu.
Perlakuan negara seperti ini tentu samakin menyuburkan relasi kekuasan asimetris itu tadi. Maka, tidak heran, banyak wanita cacat menjadi korban pemerkosaan. Mereka dianggap tidak ada, sehingga "boleh" diapakan saja oleh siapa saja. Apakah karena ini juga Polsek Riung belum menangkap pelaku pemerkosaan? Halo Polsek Riung?
"Bentara” FLORES POS, Kamis 5 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar