Kasus Tanah SDK Hale di Kabupaten Sikka
Oleh Frans Anggal
Pemilik tanah Silvester Sil kembali memagari lokasi gedung SDK Hale dan menyegel ruang kelas dan ruang guru sejak Minggu 29 Mei 2011. Pemagaran dan penyegelan dilakukan sebagai reaksi atas sikap Pemkab Sikka yang telah dua kali ingkar janji. Pemkab belum kunjung membayar ganti rugi atas tanah lokasi sekolah itu Rp70 juta (Flores Pos Senin 30 Mei 2011).
Perkaranya sejak 1984. Di pengadilan, penggugat (pemilik tanah) menang. Putusan PN Maumere tanggal 14 Agustus 2008 menyatakan, tanah 1.297 meter persegi yang di atasnya sudah dibangun sekolah adalah milik penggugat. Tergugat (pemkab) dihukum membayar total ganti rugi Rp70 juta. Putusan ini dikukuhkan oleh putusan PT Kupang tanggal 15 Juli 2009 dan putusan MA tanggal 28 April 2010.
Setahun lewat, putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap ini tidak ditaati pemkab. Maka, pemilik tanah beraksi. Ia lakukan pemagaran dan penyegelan. Pertama kali, pada 24 Maret 2011. Sekolah lumpuh total. Empat hari kemudian, 28 Maret, pemilik tanah dan Kadis PPO Yohanes Rena bersepakat. Pembayaran dilakukan satu bulan kemudian, batas akhirnya 28 April. Apabila tidak dibayar, pemilik tanah akan segel semua ruang kelas, ruang kantor, ruang guru, dan gerbang masuk sekolah.
Tenggat yang disepakati tiba. Pemkab tidak bisa penuhi janji. Sedianya pemilik tanah langsung memagar dan menyegel. Namun, itu tidak ia lakukan karena pertimbangan kemanusiaan. Kalau ia lakukan maka penyelenggaraan ujian nasional di sekolah itu gagal. Maka dibuatlah kesepakatan baru. Tenggat pembayaran disorong satu bulan ke depan, ke 28 Mei.
Tanggal yang dijanjian tiba. Lagi-lagi pemkab tidak bisa penuhi janji. Alasannya sama dengan alasan ingkar janji sebelumnya. Yakni, belum ada dana. "Dinas PPO sudah ajukan dana ke dinas PPKAD. Dinas PPKAD belum bisa cairkan karena belum dibahas dalam perubahan APBD Sikka 2011. PPKAD belum bisa cairkan dana kalau belum disetujui DPRD," kata Kadis Yohanes Rena.
Pertanyaan kita: inikah satu-satunya prosedur? Termasuk untuk hal yang bersifat darurat? Tidak mungkin! Menurut sosiolog Peter L Berger, birokrasi yang tipikal selalu memperluas peraturan proseduralnya (kalaupun tidak sifatnya) apabila timbul kasus yang belum pernah ditangani sebelumnya. Kompetensi birokrasi cenderung dari dalam dirinya menjadi semakin banyak. Semakin berkembang arsip-arsip, semakin berkembang pula tata langkah kerja yang standar, yang bisa menyelesaikan persoalan dengan cepat, mudah, dan murah.
Dalam penyelesaian pembayaran ganti rugi tanah SDK Hale, perluasan peraturan prosedural itu tidak tampak. Bukan karena tidak mungkin. Tapi karena tidak ditelusuri kadis PPO. Ia tidak kreatif mencari jalan keluar. Ia terpaku pada satu prosedur. Begitu ini kandas, ia mati langkah. Menyerah.
"Saya angkat tangan. Termasuk kalau pihak pemilik tanah lakukan pemagaran tanah gedung sekolah dan penyegelan ruang kelas,” kata kadis. Bagaimana dengan nasib murid? Mereka akan dititipkan di sekolah terdekat.
Kadis angkat tangan? Aha! Kalau benar angkat tangan, ia harus menghadap atasan langsungnya: bupati. Serahkan persoalan ini kepada bupati, karena kadis sendiri sudah tidak sanggup. Biarlah bupati yang turun tangan. Dengan kewenangannya, bupati bisa datangkan Rp70 juta. Atau, yang lebih ekstrem, kadis langsung undurkan diri. Biarlah bupati mengangkat dan melantik orang lain yang bisa mengatasi persoalan ini, termasuk membayar ganti rugi Rp70 juta.
Kita tunggu dan lihat. Apakah bupati bisa mengatasi ini dengan segera? Seharusnya bisa. Dia harus turun tangan. Tidak pangku tangan, cuci tangan, apalagi angkat tangan.
”Bentara” FLORES POS, Selasa 31 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar