Kesan Pembiaran di Kabupaten Ende
Oleh Frans Anggal
Minyak tanah di kota Ende langka. Sudah hampir tiga bulan. Masyarakat resah. Ada dugaan, minyak tanah dibawa keluar Kabupaten Ende. Ini mencuat dalam dialog PMKRI Cabang Ende dengan DPRD Ende, Jumat 13 Mei 2011. PMKRI minta DPRD lakukan kontrol (Flores Pos Sabtu 14 Mei 2011).
Yang cuatkan "teori" itu Ketua DPRD Marsel Petu. Ia menduga kuat, minyak tanah untuk Kabupaten Ende dibawa keluar. Inilah penyebab kelangkaan. "Itu perkiraan saya. Diharapkan ada pengendalian dan pengawasan lintas sektor yang melibatkan polisi, Disperindag, dan Pertamina," katanya.
Selain cuatkan dugaan itu, dialog juga menyebutkan penyebab lain. Yaitu, klaim wilayah. Distributor satu wilayah hanya layani pengecer langganan dalam wilayahnya. Permintaan pengecer dari wilayah lain, yang kehabisan stok, ditolak. Akibatnya, pengecer tidak bisa layani permintaan masyarakat. Semestinya tidak begitu, kata DPRD. Distributor harus layani semua pengecer.
Semua "teori" itu bagus. Langkah konkretnya apa, itu yang tidak jelas. Yang muncul hanya harapan, imbauan. Simaklah: PMKRI minta DPRD jalankan fungsi kontrol. Jawaban DPRD? "Diharapkan ada pengendalian dan pengawasan lintas sektor yang melibatkan polisi, Disperindag, dan Pertamina."
Pengendalian dan pengawasan lintas sektor! Benar. Ini cara tepat atasi kelangkaan minyak tanah. Namun, cara itu hanya bisa benar-benar tepat kalau dilaksanakan. Tidak hanya diharapkan, diimbaukan, diminta, dimohon. Bagaimana agar cara tepat itu benar-benar dilaksanakan, itulah yang semestinya dilakukan DPRD. Minimal gelar dengar pendapat dengan para pihak terkait itu. Ini tidak terjadi.
Akibatnya, selama hampir tiga bulan, selain minyak tanah langka, informasi pun gelap gulita. Masyarakat tidak diberi tahu apa penyebab kelangkaan. Kapan kelangkaan berakhir. Apa langkah yang sebaiknya ditempuh. Masyarakat betul-betul diterlantarkan. Minyak tanah tidak ada. Informasi tidak ada. Petunjuk pun tidak ada.
Menyedihkan, menyaksikan warga kota Ende. Tiap hari pontang-panting hilir-mudik bawa jeriken kosong. Mereka datangi pengecer demi pengecer. Sering pulang dengan tangan hampa. Setelah tanya sana sini, barulah mereka tahu di mana pengecer yang masih punya stok. Mereka ke sana dan membeli mahal, di atas HET (harga eceran tertinggi). Minyak tanah 1 jeriken ukuran 8 botol biasanya Rp20 ribu. Sekarang Rp25-30 ribu.
Pontang-panting seperti ini dan transaksi di atas HET terus berlangsung. Kapan berakhirnya, entahlah. Sepertinya keadaan ini dibiarkan . Pembiaran ini memberi kesan seolah-olah Ende tidak punya pemerintah. Tidak punya Disperindag. Tidak punya Pertamina. Tidak punya DPRD. Kalau mereka benar ada, semestinya kondisi ini tidak berlama-lama.
Kesan lain, seolah-olah Ende tidak punya warga negara (citizen). Yang ada hanya kumpulan manusia, massa. Mereka bergerak cair ke sana kemari, pontang-panting hilir-mudik mencari minyak tanah. Mereka mengeluh. Resah. Tapi hanya sampai di situ. Mereka tidak mengadu. Mereka tidak menuntut haknya sebagai warga negara.
Untung masih ada elemen mahasiwa ekstra kampus. Mereka mempersoalkan keadaan ini. Mereka minta DPRD lakukan kontrol. Pertanyaan kita: kapan DPRD benar-benar mengontrol dan berhenti ber-”teori” tentang kelangkaan minyak tanah? Kapan DPRD gelar dengar pendapat dengan Disperindag, Pertamina, Polres?
”Bentara” FLORES POS, Rabu 18 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar