Hak atas Pengakuan dan Perlindungan Hukum
Oleh Frans Anggal
Foto master Harian Umum Flores Pos edisi Jumat 13 Mei 2011 menampilkan aksi donor darah para perawat lingkup RSUD Ende. Aksi ini mereka lakukan guna memaknai Hari Perawat Sedunia, 12 Mei.
Hari Perawat dimaknai dengan donor darah. Artinya, dimaknai dengan tindakan nyata kepedulian sosial. Khususnya kepedulian akan kehidupan orang lain. Sebab, setetes darah dapat menyelamatkan jiwa sesama.
Luar biasa. Setiap hari, para perawat "mendonorkan" waktu, tenaga, pikiran, dan perhatian untuk pasien. Di rumah sakit, di puskesmas, di rumah warga. Semuanya itu ternyata dirasa belum cukup. Mungkin karena dianggap biasa, sebagai hal yang seharusnya dilakukan. Karena itu, pada hari yang luar biasa ini, mereka merasa perlu memberikan sesuatu yang luar biasa pula. Yakni, memberikan komponen tubuh mereka sendiri: darah.
Pertanyaan kita: mengapa mereka hanya memberi dan memberi? Apakah Hari Perawat hanyalah momen unjuk pengabdian? Bukan momen unjuk tuntutan? Ada, bahkan banyak, yang semestinya mereka desakkan pada momen istimewa ini. Yakni, apa yang merupakan hak mendasar mereka sebagai perawat. Bukan uang atau gaji, meski itu sangat penting. Tapi, pengakuan dan perlindungan hukum. Ini yang belum ada sampai detik ini.
Di ASEAN, Indonesia negara penghasil perawat dalam jumlah besar. Namun, negara yang kini ketua ASEAN 2011 ini merupakan satu dari tiga negara ASEAN yang belum memiliki UU keperawatan (nursing act). Dua lainnya adalah Laos dan Vietnam. Dalam hal pengakuan dan pelindungan hukum terhadap perawat, Indonesia kalah jauh dari Filipina, Thailand, Malaysia, dan lain-lain.
Ini menyedihkan. Perawat negeri ini berkontribusi besar meningkatan derajat kesehatan masyarakat. Mereka mengabdi di mana-mana. Di kota hingga pelosok desa. Sayang, pengabdian mereka tidak disertai pangakuan dan perlindungan hukum. Sebaliknya, mereka sering jadi sasaran gugatan hukum masyarakat.
Di dalam negeri, mereka tidak dilindungi. Di luar negeri, mereka susah bersaing. Ini dampak tidak adanya UU keperawatan, yang antara lain menjamin kompe¬tensi keilmuan, sikap rasional, etis, dan profesional, serta semangat pengabdian yang memenuhi standar internasional. Belum lama ini perawat Indonesia nyaris dipulangkan oleh pemerintah Kuwait karena sistem pendidikan dan pengakuan kita belum dikenal, sebagaimana pada negara-negara lain yang telah punya UU keperawatan. Maka, di luar negeri, perawat kita hadapi masalah tidak diakui, baik kompetensinya (down grade) maupun legalitas keperawatannya.
Apakah pemerintah, dalam hal ini depkes, begitu bodoh dan pasif sehingga tidak mampu susun dan ajukan RUU keperawatan? Tidak juga. Upaya itu ada. Tapi kandas di gedung DPR. Draf RUU keperawatan telah diajukan sejak 2004 silam. Namun, entah kenapa, sampai sekarang tidak jelas kabar beritanya.
Tampaknya, gedung Senayan yang penuh dengan kutu loncat politik itu kurang tertarik pada RUU satu ini. Padahal urgensitasnya sangat tinggi. Rupanya karena kurang fulus, makanya tidak mulus. Bukan rahasia lagi, di negeri ini, setiap titik dan koma RUU adalah transaksi. Prosesnya penuh dengan tukar tambah kepentingan antara birokrat pembuat hukum, pemesan hukum, dan legislator.
Tuntutan ke DPR harus dilakukan. Terus-menerus. Bila perlu secara besar-besaran. Semestinya, itu jugalah yang dilakukan para perawat, memaknai Hari Perawat tahun ini. Jangan hanya memberi dan memberi. Tuntutlah. Desaklah. Bila perlu, demolah.
”Bentara” FLORES POS, Sabtu 14 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar