Kontroversi Tambang Manggarai Barat
Oleh Frans Anggal
Dalam dengar pendapat dengan DPRD Mabar di Labuan Bajo, Selasa 23 Juni 2009, Bupati Fidelis Pranda mengatakan, soal tambang itu belum final. Oleh karena itu, perlu didiskusikan terus-menerus secara santun dan berbudaya. Pemerintah tidak otoriter, katanya, karena semuanya dilakukan secara demokratis sesuai dengan aturan, dari Pancasila, UUD 1945, UU, hingga perda.
Dengan rumusan ini, Bupati Pranda menyiratkan dirinya sebagai pemimpin demokratis, bukan pemimpin otoriter. Menurut teori, pemimpin demokratis adalah pemimpin yang menghargai musyawarah. Sebaliknya, pemimpin otoriter menafikannya dan hanya menghargai kehendaknya sendiri.
Pemimpin demokratis menghargai lonto leok padir wa’i rentu sa’i. Ungkapan Manggarai ini sering digunakan Bupati Pranda. Juga ketika dimintai tanggapannya di Labuan Bajo, Jumat 19 Juni 2009, perihal penolakan sejumlah elemen masyarakat terhadap tambang. “Kita di Mabar ini sampai sekarang masih junjung tinggi budaya setempat. Kita selesaikan segala permasalahan dengan baik secara bersama-sama.”
Pernyataannya terdengar indah bak nyanyian surga. Kenyataannya, dalam kasus tambang, indah kata dari rupa. Satu contoh saja. Bupati Pranda sudah mengeluarkan izin eksplorasi tambang emas di Batu Gosok. Izin dikeluarkannya tanpa lonto leok padir wa’i rentu sa’i dengan DPRD dan masyarakat pemilih tanah. Cara yang tidak demokratis inilah yang antara lain ditolak masyarakat.
Karena itu, dengan getir kita harus mengatakan, dalam kasus tambang, kata-kata indah sang bupati hanyalah omdo (omong doang), asbun (asal bunyi), astaga (asal statement gagah). Ilmu sosial menggolongkannya sebagai pembohongan publik. Ilmu logika menyebutnya sebagai factually empty, istilah untuk suatu keterangan yang tidak mempunyai isi kenyataan (factual content).
Kita perlu segera menyampaikan ini sebagai kritik. Bukan karena tidak suka pada seorang Pranda, tapi sebaliknya karena gembira lantaran ia sudah menyiratkan diri sebagai pemimpin demokratis. Pemimpin demokratis adalah pemimpin yang menghargai kritik sebagai bentuk kontrol. Kontrol diperlukan karena pemimpin memiliki kekuasaan. Dan kekuasaan selalu cenderung menyeleweng. Power tends to corrupt, kata Lord Acton.
Perihal kecenderungan itu, psikologi kekuasaan di mana-mana sama. Kecenderungan kekuasaan untuk memperbesar diri jauh lebih kuat daripada kemampuannya membatasi diri. Kecenderungan kekuasaan untuk membenarkan diri juga berkali-kali lebih besar daripada kemampuannya mengritik dan mengawasi diri . Karena itulah, pengawasan, kritik, perlu datang dari luar diri pemimpin, tidak cukup hanya dari dalam dirinya sendiri
Harapan kita, dengan kritik dari luar, Bupati Pranda menyadari kesalahannya. Cabut itu izin tambang. Mulailah, lonto leok padir wa’i rentu sa’i.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 25 Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar