01 Juni 2009

Kajari Ende, Ini Ada Apa?

Tolak Sebut Identitas Tersangka Kasus PLTU Ropa

Oleh Frans Anggal

Kejari Ende telah menetapkan dua tersangka kasus PLTU Ropa dengan dugaan kerugian keuangan negara Rp3 milar lebih. Kedua tersangka akan dikenai UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dijanjikan, Juli 2009 kasus ini sudah dilimpahkan ke pengadilan.

Siapa dua tersangka itu? Kajari Marihot Silalahi hanya menyebutnya AD dan KD. “Kita sepakat saja ya, cukup menyebutkan inisialnya saja. Kalian pasti tahulah,” katanya dalam konferensi pers Jumat 9 Mei 2009. Ketika dihubungi kembali oleh wartawan Flores Pos untuk memintanya minimal menyebutkan jabatan atau posisi kedua tersangka, ia tetap tidak mau. “Sebut saja oknum PLN. Nanti pada saat pemanggilan yang bersangkutan, akan diberitahukan lagi.”

Langkah Kejari Ende menetapkan tersangka patut dipuji. Sayangnya, tidak disertai transparansi. Kajari tidak berterus terang menyebutkan siapa persisnya kedua oknum PLN itu. Sebagai pejabat publik, ia telah mengabaikan kewajiban memenuhi salah satu hak dasar publik. Hak untuk tahu (right to know).

Kasus PLTU Ropa itu kasus pidana korupsi. Apa pun definisinya dan dalam perspektif apa pun pengertiannya, korupsi selalu masuk dalam ranah publik. Dari segi akibatnya, korupsi dapat menghilangkan kepercayaan publik terhadap negara. Secara politik, merusak tatanan demokrasi dan tata kelola negara. Secara ekonomi, merusak pembangunan melalui penyimpangan dan inefisiensi sumber daya publik.

Di sisi lain, kasus PLTU Ropa juga kasus BUMN, dalam hal ini PT PLN (Persero). UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memposisikan BUMN Persero masuk dalam tataran hukum publik. Maka, lengkaplah sudah ke-publik-an kasus PLTU Ropa, atas dasar ranah dan tataran hukumnya.

Atas dasar itulah publik berhak untuk tahu segala hal berkaitan dengan proses hukumnya. Tidak hanya perihal kerugian keuangan negara dan ancaman hukuman, tapi juga tersangka pelakunya, waktu dan tempat kejadian, serta motif dan modus tindakannya. Hak ini yang justru tidak dipenuhi seluruhnya oleh Kajari Silalahi selaku pejabat publik.

Tampaknya, kajari merasa sudah cukup hanya dengan mengandaikan publik tahu. Pengandaian dipersamakan dengan pemberitahuan. Padahal, keduanya berbeda. Pengandaian boleh subjektif dan mana suka. Pemberitahuan, tidak. Di hadapan hak publik untuk tahu, pemberitahuan itu wajib dan harus objektif. Karena itu, yang bisa memenuhi hak publik untuk tahu adalah pemberitahuan, bukan pengandaian. Ini yang justru tidak dilakukan Kajari Silalahi.

Janggalnya, ia masih merahasiakan subjek tindak pidana korupsi justru ketika subjek itu sudah ditetapkannya menjadi tersangka. Kasusnya sudah maju, sikap kajarinya malah mundur, seakan-akan ke tahap pulbaket lagi. Ini ada apa?

“Bentara” FLORES POS, Senin 1 Juni 2009

Tidak ada komentar: