Kontroversi Penetapan 40 Kursi DPRD Manggarai
Oleh Frans Anggal
Kasus penetapan 40 kursi DPRD Manggarai memasuki gesekan baru. KPUD berkonsultasi ke KPU Pusat. Isinya: sebagian anggota DPRD 2004-2009 adalah juga caleg terpilih 2009. Dengan menolak penetapan 40 kursi, apakah dapat diartikan mereka undur diri dari caleg terpilih? “Seperti apa hasil konsultasi dan apa perintah KPU Pusat, kita siap jalankan,“ kata Ketua KPUD Frans Aci.
Anggota DPRD Blasius Mempong menilai langkah KPUD tak masuk akal. Yang tanda tangani keputusan tolak penetapan kursi adalah DPRD, bukan caleg terpilih. Kapasitas mereka jelas. Blasius Mempong dudukkan soal secara tepat.
Ilmu logika mengenal himpunan (class). Yaitu, kumpulan apa saja yang miliki ciri-ciri sama. Yang tergabung dalam himpunan adalah anggota (member). DPRD Manggarai 2004-2009 dan caleg terpilih 2009-2014 adalah dua himpunan berbeda. Masing-masingnya juga merupakan himpunan tertutup (closed class). Artinya, anggotanya dapat nyata dikenal atau disebutkan satu per satu. Oleh ciri tertutup ini, anggota masing-masing himpunan tidak dapat dipersamakan dan dipertukarkan, meskipun orangnya sama.
Sesatpikir (fallacy) KPUD justru terletak di sini. Keanggotaan himpunan dipersamakan dengan orangnya. KPUD tidak berpangkal pikir pada pokok-soal (ad rem), tapi pada pokok-orang (ad hominem). Ini bisa lahirkan sesatpikir lain, sebagai berikut:
KPUD melemahkan pendapat orang dengan memasukkan pertimbangan mengenai diri orang itu yang secara logis tidak bersangkut-paut dengan pokok-soal (abusive ad hominem). Serempak sebaliknya, KPUD menarik dukungan dari orang lain karena salah satu pangkal pikirnya menunjukkan bahwa yang dilakukannya adalah demi kepentingan orang itu (circumstantial ad hominem).
Yang mencolok: KPUD membenarkan tindakannya dengan alasan bahwa penolakan orang atas keputusannya dapat membawa akibat buruk bagi si penolak. Anggota DPRD yang menolak penetapan kursi bisa dicoret dari caleg terpilih jika tindakannya itu dianggap sebagai pengunduran diri. Argumentasinya mengandung ancaman (argumentum ad baculum). Nanti, kalau yang diancamkannya benar terjadi, KPUD mudah mencuci tangan dengan menyebutkannya sebagai keputusan KPU Pusat. Dasarnya bukan rasionalitas, tapi otoritas (argumentum ad auctoritatem).
Itulah sesatpikir KPUD. Disengajakan atau tidak, cuma KPUD yang tahu. Kalau disengajakan, bertujuan menyesatkan, itu sofisme. Kalau tidak disengajakan, karena memang tersesat, itu paralogisme. Sofisme sudah termasuk kejahatan.
Mudah-mudahan, ini hanya paralogisme KPUD. Kalau paralogisme, tinggal diluruskan saja logikanya, selesai. Tak perlu konsultasi ke KPU Pusat. Kalau yang di sana juga sesatpikir, bagaimana? Yang lahir nanti bukan lagi demokrasi, tapi demo-crazy. Orang Manggarai punya istilahnya: ramen wedol.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 26 Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar