10 Juni 2009

“HIV Angka” di Manggarai

Lebih Penting Tonjolkan Penyadaran

Oleh Frans Anggal

Di Manggarai, persentase kerentanan penularan HIV/AIDS di kalangan pelajar dan mahasiswa mencapai 12,55 persen. Pelajar dan mahasiswa merupakan satu dari banyak kelompok rentan seperti petani, buruh pelabuhan, awak kapal, dan eks TKI. Dari semua kelompok, eks TKI-lah yang paling rentan, 50 persen. Begitu kata Ketua KPAD Manggarai Kamelus Deno (wabup) dalam rapat koordinasi HIV/AIDS di Ruteng, Sabtu 6 Juni 2009.

Itu adalah angka. Angka ini bisa menyesatkan kalau hanya angka surveilans dengan metode ‘tes kilat’ (rapid test) untuk dijadikan data studi kasus (case study) HIV/AIDS. Rapid test sendiri bukan studi kasus. Tujuannya bukan memastikan kasus dan mengetahui jumlah kasus, tapi hanya untuk memperoleh gambaran besarnya masalah epidemi HIV/AIDS. Untuk studi kasus, hasil rapid test harus dikonfirmasi melalui tes-tes lain seperti elisa, latex agglutination, dan western blot. Sebab, bisa terjadi, seseorang yang semula diduga positif HIV dalam rapid test, ternyata negatif dalam tes-tes lain.

Karena itu, perlu berhati-hati dengan “HIV angka”. Makna angka harus dipahami agar dapat dijelaskan dengan tepat kepada masyarakat. Angka surveilans yang biasanya besar-besar, jika tidak dijelaskan secara akurat maknanya, bisa menimbulkan efek menyeramkan. Efek ini menyuburkan diskriminasi dan stigmatisasi terhadap penderita HIV/AIDS, bahkan terhadap kelompok rentan tertentu jika angka survelainsnya paling tinggi.

Jika itu yang terjadi, persoalannya sudah mencederai etika. Ada tiga prinsip etika yang harus dipegang dalam menghadapi HIV/AIDS. Empati: ikut merasakan penderitaan sesama termasuk ODHA dengan penuh simpati, kasih sayang, dan kesediaan saling menolong. Solidaritas: bahu-membahu meringankan penderitaan dan melawan ketidakadilan yang diakibatkan oleh HIV/AIDS. Tanggung jawab: setiap individu, masyarakat, lembaga atau bangsa berusaha secara nyata mencegah penyebaran HIV dan memberikan perawatan kepada para pengidap.

Dalam bingkai etika ini, di hadapan masyarakat, hal terpenting bukan lagi penonjolan angka-angka, tapi penyadaran agar mereka mau melakukan tes HIV. Tes itu harus sukarela. Ini yang sulit. Kini dialami, tes sukarela kurang efektif. Voluntary Testing and Counseling (VTC) sudah harus diganti dengan Provider Initiated Testing and Counseling (PITC). Pada VTC, dokter pasif menunggu pasien. Pada PITC, dokter yang mendiagnosis pasien bisa aktif menganjurkan tes HIV. Dalam Konferensi AIDS Internasional Ke-17 di Mexico 3-8 Agustus 2008, PITC telah disepakati oleh negara-negara peserta.

Jumlah penderita HIV AIDS di Indonesia saat ini sekitar 270 ribu orang. Tapi baru 10 persen yang terlaporkan. Kurang dari 14 ribu menjalani pemeriksaan dan pengobatan. Dengan PITC, jumlah yang terdeteksi akan mendekati angka 270 ribu.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 10 Juni 2009

Tidak ada komentar: