Tiga Tahun Skabies di Desa Waekokak
Oleh Frans Anggal
Sudah 3 tahun skabies menyerang penduduk dan ternak kambing di Desa Waekokak, Kec. Aesesa, Kab. Nagekeo. “Sejak 2007 skabies menyerang kambing sampai berkandang-kandang mati. Juga menyerang manusia yang sampai sekarang belum sembuh-sembuh,” kata Sekdes Andreas Tay di Waekokak, Kamis 18 Juni 2009. Penyuluh pernah datang ambil sampel, tetapi seperti apa hasilnya tidak diketahui masyarakat. Belum ada petunjuk dari pertugas tentang cara mencegah dan mengatasi penyakit kulit ini.
Tiga tahun! Begitu lamanya warga menderita. Mereka tidak dapat mengaktulisasikan seluruh potensinya untuk mengembangkan diri sebagai manusia berharkat dan bermartabat. Mereka terpuruk ke taraf sub-human.
Kondisi mereka menyingkapkan satu hal. Mereka bukan hanya korban skabies, tapi juga dan ini yang utama: korban ketidakpedulian pemerintah selaku pengemban kekuasaan negara. Pemerintah tidak “berbuat sesuatu”, apalagi “berbuat banyak”. Padahal, “berbuat banyak” itu kewajibannya di hadapan hak asasi warga atas kesehatan dan standar pelayanan kesehatan tertinggi.
Di sinilah bedanya hak asasi bidang kesehatan (economic, social and cultural rights) dengan hak asasi bidang politik (political and civil rights). Di bidang politik, hak warga mewajibkan negara berperan minimal. Semakin minimal intervensi dan kontrol negara, samakin terjamin hak politik warga. Di bidang kesehatan, sebaliknya. Hak warga mewajibkan negara berperan maksimal. Semakin maksimal intervensi dan kontrol negara, semakin terjamin hak kesehatan warga. Di bidang ini, pemerintah dituntut aktif dan proaktif “berbuat sebanyak-banyaknya”.
Ini yang tidak terjadi dalam kasus skabies di Waekokak. Jangankan “berbuat sebanyak-banyaknya”, “berbuat sesuatu” saja tidak. Kalaupun ada, paling-paling pengambilan sampel oleh penyuluh. Habis ambil sampel, penyuluh hilang. Tiga tahun tak ada kabar, tak ada tindak lanjut. Tiga tahun pula warga bergulat dengan skabies, sendirian, dalam ketidaktahuan, tanpa penyuluhan, tanpa pengobatan. Seakan tidak ada pemerintah, tak ada Pemkab Nagekeo.
Tidak berlebihan, pemkab telah melakukan pelanggran HAM. Pelanggaran by omission (pembiaran). Bisa jadi juga pelanggaran by commission (kesengajaan) kalau pemkab diskriminatif dalam alokasi dana publik yang mengakibatkan kecilnya dana layanan kesehatan, khususnya bagi golongan tidak mampu.
Beli mobil dinas berujung masalah, pemkab mau dan mampu. Kenapa untuk tangani skabies tidak? Elie Wiesel penerima Nobel Perdamaian 1986 mengatakan, kesehatan warga takkan dapat dibangun tanpa memperhatikan aspek dan komponennya berupa HAM. Jangan-jangan masalahnya di situ. Pemkab belum menganggap kesehatan warga sebagai hak asasi yang harus dipenuhinya secara aktif, proaktif, dan maksimal. Halo, Pemkab Nagekeo?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 23 Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar