Kasus Ketidaklulusan UN di Sikka
Oleh Frans Anggal
Salah satu orangtua siswa SMA Alvares Paga, Kabupaten Sikka, yang anaknya tidak lulus ujian nasional (UN) 2009 mengancam membakar dan melempar sekolah. Aksinya menimbulkan ketakutan pihak sekolah. Kasek dan para guru tidak bisa keluar selama empat jam. Situasi baru teratasi setelah polisi datang.
Kepala SMA Alvares Paga Romo Carolus Sola O.Carm mengakui kelulusan UN pada sekolahnya tahun ini memang rendah, hanya 64,60 persen. Dari 61 peserta, 40 lulus, 21 tidak lulus. Nasib serupa menimpa rata-rata SMA di Kabupaten Sikka. Dibandingkan tahun lalu, tahun ini persentase kelulusan menurun tajam, dua digit, dari 58 persen menjadi hanya 44,87 persen.
Persentase itu adalah angka.Dan angka itu hanya menunjukkan pencapaian: sukses atau gagal. Bagaimana pencapaian itu dihadapi, bukan perkara angka lagi. Ini perkara manusia. Manusia bisa menerima, bisa juga menolaknya. Itu bukan soal. Yang sering jadi soal adalah caranya.
Dalam kasus SMA Alvares Paga, cara si orangtua siswa jelas salah. Mengancam membakar dan melempar sekolah tidak dapat dibenarkan. Tentang ini, tak perlu diuraikan panjang lebar. Sudah jelas. Justru karena itu, kita perlu beranjak dengan empati: mengapa si orangtua sampai mengamuk. Mungkin ia mengalami depresi. Ongkos sekolah mahal-mahal, hasilnya nol. Ia kecewa, marah. Ia lampiaskan semuanya kepada sekolah. Kasihan sekolah, selalu jadi korban. Padahal ia bukan biang kerok. Biang keroknya adalah pemerintah.
Pemerintah mencaplok otonomi sekolah dan kewenangan pendidik. UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas menyebutkan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik. UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan, guru dan dosen berhak memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan.
Praktiknya? Omong kosong. Hak sekolah dan guru masih tetap saja dirampas oleh pemerintah melalui sistem standar nilai kelulusan UN. Sistem penilaiannya sendiri pincang. Masa, hanya menilai kemampuan intelektual, dari beberapa mata pelajaran saja, untuk menentukan kelulusan. Ini sudah menyalahi UU Sisdiknas yang jelas-jelas menegaskan, kompetensi kelulusan merupakan kualifikasi kemampauan kelulusan yang mencakup tidak hanya pengetahuan, tapi juga sikap dan keterampilan.
Kita tidak menolak UN. UN itu bagus dan diperlukan sejauh sebagai sarana akreditasi sekolah, bukan sebagai penentu kelulusan. Yang menentukan kelulusan tetaplah sekolah. Tugas pemerintah hanya membantu dengan sarana, prasarana, buku, dan pendidik bermutu.
Sudah saatnya penyelenggaraan pendidikan sentralistik diakhiri. UN hanya membuat sekolah terpasung dan tergantung pada birokrasi. UN mematikan otonomi, kemandirian, motivasi, dan inisiastif sekolah.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 18 Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar