Kontroversi Kuota Kursi DPRD Manggarai
Oleh Frans Anggal
DPRD Manggarai menolak hasil rapat pleno KPUD tentang penetapan perolehan kursi dan caleg terpilih hasil Pemilu 9 Meret 2009. Dalam plenonya KPUD telah menetapkan nama-nama caleg terpilih yang akan menduduki 40 kursi dewan. Ini ditolak oleh DPRD melalui keputusan 11 Juni 2009.
Dasar penolakan itu adalah UU No. 10/2008 tentang Pemilu. Pasal 26 ayat 3 huruf c telah mengatur jelas kuota kursi DPRD kabupaten/kota berdasarkan jumlah penduduk. Yang berpenduduk 200.000-300.000 jiwa mendapat kuota 30 kursi. Jumlah penduduk kabupaten induk Manggarai pasca-pembentukan daerah otonom baru Manggarai Timur adalah 266.157 jiwa. Dengan demikian, kuota kursinya 30, bukan 40. DPRD menilai KPUD melanggar UU. DPRD mendesak aparat penegak hukum mengusut tuntas penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dilakukan KPUD.
Wakil Ketua DPRD Jack Mut Naur mengatakan, “Keputusan dewan (ini) tidak dilakukan begitu saja, melainkan adanya desakan dan aspirasi dari masyarakat karena penetapan yang ada itu melanggar (UU).” Itu benar. Penolakan kuota 40 kursi DPRD pertama kali disuarakan oleh elemen masyarakat, antara lain Siram Demokrasi, dalam demo berkali-kali di Ruteng.
Atas sikap mengakmodasi aspirasi masyarakat, DPRD Manggarai patut dipuji. Yang disayangkan, dalam keputusannya, para wakil rakyat ini belum sungguh-sungguh menyerap substansi aspirasi masyarakat. Ada dua substansi yang selama ini diangkat masyarakat. Yaitu, substansi legalistik dan substansi etik.
Substansi legalistik menyata dalam pemersoalan kuota kursi berdasarkan UU. Penetapan KPUD dinilai melanggar ketentuan pasal 26 ayat 3 huruf c UU No. 10/2008. Substansi ini diakomodasi penuh oleh DPRD. Dalam diktum keputusannya, DPRD menyebut dasar hukum ini secara jelas dan tegas.
Akan halnya substansi etik, menyata dalam pengaitan kuota kursi dengan dampaknya terhadap APBD. ‘Kelebihan’ 10 kursi akan membebankan keuangan daerah. Lebih baik gaji dan tunjangan 10 kursi itu dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat miskin. Sayang, subtstansi etik ini tidak diakomodasi oleh DPRD dalam keputusannya. Tak satu diktum pun dalam empat butir keputusannya menyinggung beban anggaran.
Dengan demikian, bukan hanya kurang aspiratif, keputusan DPRD Manggarai belum mengejahwantahkan fungsi budget yang melekat pada dirinya. Yang dijalankannya hanyalah fungsi legislasi, karena hanya persoalkan leges, dasar hukum yang dilanggar KPUD. Dengan begitu, DPRD sama dengan KPUD yang juga hanya memeluk leges. Keduanya, dalam posisi bertentangan, sama: hanya persoalkan substansi legalistik. Tidak menyentuh substansi etik. Hanya persoalkan legalitas, lalai permasalahkan legitimasi. Seolah-olah negara ini hanya negara hukum. Mereka lupa, negara ini ini juga negara demokrasi.
“Bentara” FLORES POS, Senin 15 Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar