18 Juni 2009

Siapa Dulu Bupatinya

Pemberlakukan UPTSP di Kabupaten Flotim

Oleh Frans Anggal

Kabupaten Flotim maju selangkah lagi. Setelah beberapa tahun lalu merampingkan struktur birokrasi, kini Selasa 16 Juni 2009 kabupaten Simon Hayon dan Yoseph Lagadoni Herin ini memberlakukan Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPTSP).

Tempo hari, dengan merampingkan birokrasi, Flotim menghemat Rp6 miliar setahun. Dana ini digelontorkan ke desa untuk membangun berbagai infrastruktur vital. Sekarang, dengan UPTSP, apa yang akan didapat? Banyak, dilihat dari tujuannya.

UPTSP betujuan (1) menyederhanakan perizinan (debirokratisasi dan deregulasi); (2) meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat umumnya dan dunia usaha khususnya; (3) menciptakan transparansi perizinan serta memberikan pelayanan yang mudah, cepat, dan murah; (4) memberikan jaminan kepastian hukum; (5) merangsang pertumbuhan ekonomi; (6) memberikan peluang investasi demi meningkatkan perekonomian daerah.

Semua tujuan itu bersifat kualitatif. Kata kuncinya: “pelayanan” yang “memuaskan masyarakat” sehingga meningkatkan “kepercayaan masyarakat” kepada pemerintah. Pencapaian ini akan membawa dampak finansial juga. Kabupaten Serdang Bedagai sudah buktikan. Pendapatan retribusi dari 8 jenis perizinan melalui UPTSP meningkat tajam dibandingkan periode yang sama tahun sebelum UPTSP diberlakukan. Januari-April 2006 (sebelum UPTSP) retribusinya Rp202 juta. Januari-April 2007 (setelah UPTSP) menjadi Rp516 juta. Naik 155 persen!

Bagi Flotim yang sudah memulai UPTSP, pencapaian kualitatif dan kuantitatif ini sudah di depan mata. Beda dengan kabupaten lain, lamban! Permendagri No 20/2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tatakerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah sudah memberikan tenggat 1 tahun sejak penetapannya 13 Maret 2008. Hari ini 19 Juni 2009, sudah 1 tahun 3 bulan lewat. Namun, di Indonesia baru 72 daerah punya UPTSP. Di NTT, Flotim yang ketiga.

Kenapa daerah lain lamban? Jawabannya: mental birokrat dan kemauan politik (pilitical will) kepala daerah. Dalam pelayanan publik, birokrokrat mengidap sebuah ‘penyakit keturunan’. Birokratisasi panjang, berbelit, lama, dan mahal. Makin panjang, lama , dan banyak persinggahan, makin banyak duit masyarakat terkuras. Masyarakat rugi. Justru karena itu birokat untung. Pokoknya, kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat? Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah? Kalau bisa mahal, kenapa harus murah? Kalau bisa curang, kenapa harus jujur? UPTSP hanya bikin semua keuntungan itu hilang. Birokrat pun resisten. Maka, kalau UPTSP bisa tahun depan, kenapa harus tahun ini?

Di hadapan resistensi birokrat, kepemimpinan kepala daerah sangat menentukan. Kuncinya dia. Cepat atau lamban tergantung dari ada tidak kemauan politiknya. Jadi, perihal UPTSP, tergantung: siapa dulu bupatinya.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 19 Juni 2009

Tidak ada komentar: