23 Juni 2009

Orangtua Jadi Sapi Perah

Pungutan di SMAK Setiawan Nangaroro

Oleh Frans Anggal

SMAK Setiawan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, memungut Rp200 ribu per siswa saat ambil ijazah. Orangtua mengeluh. Mereka juga tak tahu peruntukannya. Menurut Kasek Siprianus Laki Lay, ini untuk pembangunan ruang kelas baru dan administrasi urus ijazah. Sudah disepakati komite dalam rapat sebelum pengumuman UN. “Namanya juga sumbangan, berapa yang diberikan, itulah yang diterima sekolah.” SMAK Setiawan sekolah swasta dan benar-benar terapkan otonomi sekolah, kata kasek. Tahun ini sekolah dapat block grand Rp110 juta. Tapi ada juga kontribusi sekolah 25 persen. “Ini otonomi sekolah. Bantuan pemerintah memang ada, tetapi sering datang terlambat.”

Pungutan selalu punya dasar, punya tujuan. Pada kasus ini, dasarnya otonomi sekolah dan kesepakatan komite. Tujuannya bangun ruang kelas baru dan biaya urus ijazah. Di mana-mana begitu. Dasar dan tujuannya selalu jelas. Menjadi soal: apakah ‘jelas’ itu juga berarti ‘benar’?

Kasek pakai dasar otonomi sekolah. Apakah maksudnya adalah otonomi pendidikan (otdik)? Otdik merupakan sintesis antara kebijakan makro (visi dan kebijakan menteri pendidikan tentang tujuan pendidikan nasional dan perangkat praktisnya) dan kebijakan mikro (sistem organisasi sekolah, pengayaan kurikulum, tanggung jawab sekolah atas program formasi, dan lain-lain). Dalam level mikro ini, orangtua dan komite dilibatkan sebagai partner.

Dengannya, otdik mengandung 3 dimensi. Dimensi partisipatif: kesinambungan pendampingan orangtua pada anak didik pascasekolah. Dimensi komunikatif: sistem kontrol serta transparansi keuangan dan perencanaan program formatif sekolah. Dimensi konsiliatif: keterbukaan sekolah menerima masukan masyarakat berkaitan dengan program pendidikan yang ditawarkan.

Bagimana dimensi ini pada pungutan SMAK Setiawan Nangaroro? Pertama, orangtua keluhkan besarannya. Artinya apa? Dimensi konsiliatif otdik tidak beres. Sekolah tidak terbuka menerima masukan orangtua dan tidak peka terhadap keadaan ekonomi mereka. Setelah orangtua mengeluh, barulah sekolah putar kata: ini bukan pungutan, tapi sumbangan, kasih berapa saja boleh. Kedua, orangtua tidak tahu peruntukan pungutan. Artinya apa? Dimensi komunikatif otdik juga tidak beres. Yang ini penyakit umum. Bikin pungutan kaget pakai dasar kesepakatan komite.

Pungutan jenis ini ‘disepakati’ tidak pada awal tahun atau awal semester. Munculnya kagetan jelang terima amplop UN. Sekolah tunggu di tikungan terakhir, sehingga orangtua terpaksa ikut saja karena dijadikan semacam syarat terima ijazah. Peran komite? Komite bagai kerbau dicocok hidung. Mudah didikte sehingga sekadar jadi tukang stempel kesewenang-wenangan sekolah. Stempel komitelah yang dipakai sekolah sebagai dasar pungutan kaget.

Otdik telah direduksi jadi otsek (otonomi sekolah), direduksi lagi jadi otpungsek (otonomi pungutan sekolah). Orangtua bukan partner, tapi sapi perah.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 24 Juni 2009

Tidak ada komentar: