Rencana Tambang Batu Bara
Oleh Frans Anggal
Warga Riung, Ngada, menolak tambang batu bara. Selain karena tambang merusak lingkungan hidup, calon lokasinya permukiman warga, lahan pertanian, perkebunan, dan peternakan. Kalau Pemkab Ngada berpihak pada masyarakat miskin, datangkan investor pertanian, pariwisata, dan lain-lain. Bukan tambang.
Sikap ini disampaikan dalam dialog sosialisasi tambang di Riung, Rabu 3 Juni 2009. Hadir, tim investasi Pemkab Ngada, kuasa pertambangan PT Graha Kencana Perkasa, kepala desa, tokoh masyarakat, pemuda, dan tokoh agama.
Tangkis tim pemkab, kuasa pertambangan belum eksploitasi. Ini baru eksplorasi. Belum merusak lingkungan. Hmmm. Pernyataan ini bisa mengecoh masyarakat.
Eksplorasi merupakan tahapan setelah penyelidikan umum, untuk kemudian dilanjutkan dengan studi kelayakan sebelum operasi produksi yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. Jelas, eksplorasi bukanlah tahap awal, tapi tahap tengah menjelang eksploitasi. Titik tolak dan titik tujunya sudah jelas. Eksplorasi itu penyelidikan lanjutan yang ‘mengukuhkan’ hasil penyelidikan umum (titik tolak), sekaligus ‘melempangkan jalan’ eksploitasi (titik tuju). Dalam praktiknya, eskplorasi sudah merupakan babak pertama eksploitasi.
Karena itu, tidak tepat dikatakan “Ini baru ekplorasi.” Yang benar: “Ini sudah eksplorasi.” Artinya apa? Eksploitasi sudah pasti jadi. Perusakan pun sudah dimulai. Lihat, calon lokasi tambang emas Batu Gosok, Mabar. Tahapnya eksplorasi, tapi tanahnya sudah mulai dibongkar, dst. Eksplorasinya dua tahun. Bayangkan seperti apa dampaknya. Hampir tak ada bedanya dengan eksploitasi.
Di Lembata, Mabar, dan kini di Ngada, pemkab memakai bahasa seragam: “Ini baru eksplorasi”. Masyarakat bisa terkecoh. Pada banyak kasus, eksplorasi sering dijadikan kamuflase eksploitasi. Dalam taktik meloloskan tambang, modus operandi seperti ini bukan hal baru.
Namun, secanggih apa pun kamuflase, tambang akan kandas kalau masyarakat pemilik tanah menolak. UU Minerba yg baru menyatakan, pemegang izin usaha pertambangan hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah.
Untuk Riung, lolos tidaknya tambang batu bara tergantung dari masyarakat Riung sendiri. Kalau konsisten menolak dan tetap kompak menolak, tambang itu batal. Selanjutnya, waspada. Sosialisasi yang kandas biasanya diteruskan dengan politik adu domba. Kalau rela jadi domba, silakan. Namun betapa menyedihkan. Masyarakat Riung itu tuan atas buminya berpijak. Investor pertama, utama, dan terlama atas tanah tumpah darahnya. Jangan gadaikan kepada tamu yang numpang lewat. Hutan telah diambil, sekarang jantung, hati, paru-paru, ginjal, dan empedu bumimu. Jangan kau relakan. Kompak dan tolak!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 6 Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar