Ketika Hasil UASBN SD 2009 Nol Persen
Oleh Frans Anggal
Pengumuman hasil UASBN pada SDI Woang, Ruteng, Kabupaten Manggarai, ditandai amuk orangtua murid. Anak kasek mereka hajar. Mereka kecewa SD ini nol persen. Mengapa nol persen? Kasek Maria Mude mengatakan, pencapaian para murid di bawah standar.
Yang jelas, hasil nol merupakan akumulasi dari banyak faktor. Namun, untuk sementara, kita batasi perbincangan hanya pada satu hal karena hanya hal itu yang didalihkan kasek: standar kelulusan.
Siapa yang tetapkan standar? Sekolah. Namun, katanya, penetapan itu berdasarkan kesepakatan dengan orangtua murid. Untuk Bahasa Indonesia 3,75, Matematika 2,85, dan IPA 3,50.
Kalau benar atas kesepakatan dengan orangtua murid, ini kejanggalan. Mungkin kejanggalan pertama dan satu-satunya di Indonesia. Sebab, aturannya sudah ada, jelas, tegas, resmi, dan seragam di seluruh Indonesia. Standar kelulusan ditetapkan melalui rapat dewan guru. Ini bedanya, sekaligus untungnya, jika dibandingkan dengan standar kelulusan SLTP dan SLTA yang ditentukan sepihak dan sewenang-wenang oleh mendiknas.
Yang berlaku bagi SD klop dengan UU No 20/2003 tentang Sisdiknas dan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. UU Siskdiknas mengamanatkan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses kemampuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Sedangkan UU Guru dan Dosen menyatakan, guru dan dosen memiliki hak dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan. Berbeda dengan SD, pada SLTP dan SLTA hak ini dirampas oleh mendiknas.
Dalam hal penentuan standar kelulusan, SD lebih otonom. Lebih bebas dan karena itu harus lebih tanggung jawab. Kebebasan dan tanggung jawab mesti mengejawantah sedemikian rupa sehingga dalam menentukan standar kelulusan UASBN, misalnya, kasek dan guru tidak mengorbankan peserta didik yang notabene sudah mereka dampingi selama enam tahun. Kasek dan guru dituntut memegang teguh prinsip patiha (patut, teliti, hati-hati).
Boleh jadi, kasek dan guru SDI Woang kurang patiha. Apalagi kalau benar penentuan standar kelulusan didasarkan pada kesepakatan dengan orangtua murid. Selain ini menyalahi aturan, tahu apa orangtua murid sehingga harus dimintai kesepakatannya mematok standar kelulusan?
Ada dua kemungkinan. Kesek dan guru tidak tahu aturan sehingga bikin kesepakatan bodok. Bisa juga, mereka sengaja menyimpangi aturan agar luput dari tanggung jawab. Kalau gagal, tinggal dibilang ini kan hasil kesepakatan kita, jangan (hanya) persalahkan kami. Kesepakatan bodok lahirkan standar bodok. Standar bodok lahirkan hasil bodok (nol persen). Hasil bodok lahirkan tindakan bodok (amuk orangtua). Tindakan bodok, apakah akan lahirkan solusi bodok?
“Bentara” FLORES POS, Senin 29 Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar