Ritus Adat Peresmian Kantor Bupati Manggarai
Oleh Frans Anggal
Di tengah kesibukan acara adat peresmian kantor baru bupati Manggarai di Ruteng yang makan waktu dua pekan, muncul kontroversi. Ada yang bilang ini pemborosan. Ikut adat lurus-lurus itu makan waktu, makan biaya. Ada juga yang bilang ini politisasi budaya dan mobilisasi tokoh adat demi pilkada 2010. Bupati Chris Rotok dan Wabup Kamelus Deno ingin maju lagi, sepaket, periode kedua.
Menariknya, yang diangkat dalam rapat DPRD bukan perihal “boros” dan “politisasi”, tapi perihal salah satu ritus dalam rangkaian acara adat peresmian. Ritus cahir gendang, pisah gendang atau pisah rumah adat bagi Manggarai, Mabar, dan Matim. Ritusnya akan dilakukan 30 Juli 2009, sehari setelah acara puncak, ditandai dengan penyerahan dua batu compang (mezbah pusat kampang) kepada perwakilan adat Mabar dan Matim.
Anggota dewan Blasius Mempong khawatir. Pisah rumah adat bisa menimbulkan sengketa ulayat di daerah perbatasan. Sebab, sejak Manggarai mekar menjadi tiga daerah otonom, tanah ulayat sudah bersifat lintas kabupaten.
Itu soal dampak. Masih ada soal lain yang malah lebih hakiki. Soal dasarnya. Coba tanyakan: apa dasar pemisahan rumah adat tiga Manggarai? Tidak ada! Sebab, dari dulu tiga Manggarai tidak pernah memiliki satu rumah adat bersama di Ruteng. Kalau tidak ada, apa yang mau dipisahkan? Begitu juga mezbah bersama, tidak ada. Kalau begitu, dua batu mezbah yang mau diserahkan kepada perwakilan adat Mabar dan Matim itu dipungut dari mana? Absurd!
Karena dasarnya tidak ada maka yang dilakukan hanyalah ‘ritus seolah-olah’ dan ‘seolah-olah ritus’. Serba-artifisial. Seolah-olah ada rumah adat bersama di Ruteng bagi segenap warga masyarakat hukum adat Manggarai Raya. Setelah Manggarai Raya mekar, rumah adat yang seolah-olah ada itu pun seolah-olah mau dimekarkan melalui ritus seolah-olah cahir gendang.
Penggagas dan pendukung boleh berdalih, ini kan simbolik. Betul. Namun, simbolik sekalipun acaranya, paradigmanya haruslah benar. Justru di sini masalahnya. Ada anggapan keliru bahwa, seolah-olah, karena masyarakat hukum adat Manggarai memiliki corak teritorial genealogis dan kesatuan adat budaya yang relatif sama dan bertempat tinggal pada wilayah Manggarai Raya yang kini meliputi tiga kabupaten, maka seluruh suku bangsanya seakan-akan memiliki hanya seorang kepala adat tunggal yang berkedudukan di Ruteng.
Menyesatkan! Manggarai itu mejamuk. Memiliki banyak masyarakat hukum adat. Masing-masingnya punya otonomi luas. Masing-masingnya punya kepala adat. Tak ada kepala adat tunggal. Tak ada rumah adat tunggal. Tak ada mezbah tunggal. Apalagi kalau yang serba-tunggal itu harus berpusat di Ruteng. Karena itu, ritus pemisahan rumah adat di Ruteng bagi Mabar dan Matim sungguh aneh.
Yang aneh begini jangan dipaksakan. Kalau dipaksakan, ia tak sekadar artifisial lagi, tapi sudah manipulatif. Manipulasi adat budaya demi kepentingan politik kekuasaan dan pilkada.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 15 Juli 2009
1 komentar:
Menarik sekali, memisahkan yang sebenarnya tak ada. It is a good argument!
Posting Komentar