Kasus Pencemaran Nama Baik Bupati Mabar
Oleh Frans Anggal
Ketua DPRD Mabar Mateus Hamsi divonis 6 bulan penjara oleh PN Ruteng dalam kasus pencemaran nama baik Bupati Fidelis Pranda. Sudah ditebak, akhirnya seperti ini. Seperti judul film komedi: Kejarlah Daku, Kau Kutangkap. Laporkan aku, kau kugugat. Begitulah. Laporan kasus korupsi sering berujung gugatan pencemaran nama baik. Kasus korupsinya diterlantarkan, kasus pencemaran nama baiknya diperhatikan. Si pelapor pun jadi korban.
Mateus Hamsi salah satunya. Sebelum dia, sekadar contoh di NTT, ada Rm Frans Amaneu Pr dan anggota DPRD NTT Arif Rahman. Keduanya, dalam kasus berbeda, diadukan mencemarkan nama baik Bupati Flotim Felix Fernandez setelah melaporkan dugaan korupsi sang bupati. Keduanya divonis penjara, sedangkan kasus korupsi yang mereka laporkan tidak disentuh.
Semua ini memang dimungkinkan oleh KUHP, warisan kolonial Belanda. Lucunya, di Belanda sendiri, delik pencemaran nama baik telah diubah dari apa yang ada di Indonesia. Bahkan di Timor Leste yang notabene mengadopsi KUHP kita, delik ini sudah disepak buang. Sementara kita tetap pertahankan mati-matian. Kenapa? Karena delik ini menguntungkan penguasa. Dampaknya: menyuburkan korupsi. Sebab, seperti judul film komedi itu: Kejarlah Daku, Kau Kutangkap. Laporkan aku, kau kugugat.
Polri menyadari praktik buruk ini. Tahun 2005, mabes menginstruksikan kepada jajaran kepolisian agar memprioritaskan penanganan perkara tindak pidana korupsi jika dalam waktu bersamaan ada tuduhan pencemaran nama baik.Di Mabar, instruksi ini tidak berlaku. Ini meyakinkan kita bahwa di daerah, sebaik apa pun instruksi mabes, efektivitasnya bergantung pada siapa dulu kapolresnya. Apakah ia benteng hukum atau cuma benteng penguasa.
Fenomena ini sekaligus mengukuhkan tesis tentang ciri daya paksa hukum. Bahwa, di dalam dan oleh dirinya sendiri, hukum tidak memiliki daya untuk memaksa. Ciri memaksa hukum berasal dari kekuatan ekonomi dan politik yang diekpresikan. Hukum tak bakal berdaya paksa menegakkan keadilan jika kapolres rela menjadi anjing piaraan bupati. Sebab, siapa yang beri makan, dia yang mendikte. Ada ungkapan Inggris: He who pays the piper, calls the tune. Siapa yang membayar pemain musik tiup, akan dapat mengendalikan nadanya. Seperti nada, hukum dan hukuman bisa diatur.
Patut dapat diduga, Mateus Hamsi dan para pelapor kasus korupsi menjadi korban dari fenomena seperti ini. Lihat. Hamsi melaporkan dugaan korupsi Bupati Pranda ke KPK dalam kapasitasnya sebagai ketua DPRD. Artinya, ia sedang menjalankan salah satu tupoksinya: mengontrol eksekutif. Terkait dengan pelaksanaan tugas itu, ia bikin siaran pers. Itu konteksnya. Aneh, dalam proses hukum, konteks ini ditanggalkan dan ditinggalkan. Yang dibidik cuma siaran persnya itu. Seolah-olah Hamsi jauh-jauh datang ke Jakarta hanya untuk bikin siaran pers. Ia pun dinyatakan bersalah: menista seseorang melalui surat.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 16 Juli 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar