16 Juli 2009

Kampanye Pangan Lokal?

50 Tahun Ziarah Pangan NTT

Oleh Frans Anggal

Diskusi buku 50 Tahun Ziarah Pangan NTT di Kupang menarik salah satu benang merahnya begini. Masyarakat NTT masih menilai rendah pangan lokal. Padahal, nilai gizi pangan lokal cukup tinggi. Karena itu, pangan lokal perlu dikampanyekan terus-menerus.

Benang merah ini seakan menuding masyarakat. Masyarakatlah yang bodoh dalam menilai dan menghargai pangannya sendiri. Karena bodoh, mereka perlu dicerdaskan melalui pendidikan sadar pangan. Lewat kampanye terus-menerus. Lama-kelamaan mereka pintar. Maka pangan lokal jadi tuan di negeri sendiri.

Sesederhana itukah persoalan? Tentu tidak. Masalah pangan di NTT bukan hanya masalahnya NTT. Ini sudah masalah dunia. Bukan pula hanya masalah kesadaran. Ini sudah masalah ketergantungan dan ketakberdayaan akibat kapitalisme global. Mengatasinya, kampanye tidak cukup. Juga tidak dengan penataran P4 (pendidikan penghayatan dan pengamalan pangan). Perlu pilihan kebijakan dan kebijakan pilihan. memperhatikan desa dan sektor pertanian.

Tapi, apa yang dilakukan kepala daerah? Kacang lupa kulit. Mereka anak desa tapi abaikan desa. Mereka anak petani tapi terlantarkan pertanian. Supaya gampang ke desa, mereka beli mobil mewah, bukan bikin dan perbaiki jalan raya. Kantor bupati dibikin megah, irigasi pertanian dibiarkan parah. Desa dan pertanian belum dianggap penting. Padahal, situasi sudah genting.

Seperempat abad lalu, laporan Club of Rome menyebutkan, dunia sudah ditandai dua ciri mencolok. Krisis penduduk pedesaan dan kemelut bidang pertanian. Penduduk desa mengalami disintegrasi akibat kapitalisme. Selain tak dapat mengejar orbit kota, mereka semakin bergantung pada kehidupan kota. Mereka tak menemukan lagi titik pusat gaya beratnya sendiri. Tengoklah petani desa kita. Bibit, pupuk, obat-obatan, semuanya pakai beli, dari kota.

Seperti apakah mereka gerangan? Sebuah adegan film Aljazair karya Lakhdar Hamina memberikan gambaran. Dalam adegan itu, seorang nabi gila menyalami para petani di gerbang kota. Katanya, “Kalian memang miskin ... tapi bebas ..., namun sekarang kalian hanya miskin saja!“

Adegan film yang memenangkan Palm Emas festival Cannes 1975 ini menggarisbawahi sebuah keprihatinan. Bahwa, ketergantungan dan ketakberdayaan akibat penetrasi kapitalisme global telah membuat para petani kehilangan kedaulatannya. Dalam hal yang paling privat sekalipun , mereka didikte pihak luar. Makan ya harus nasi. Kalau bukan nasi, bukan makan namanya. Mereka, juga kita, telah menjadi korban penjajahan pangan.

Dengan kenyataan seperti ini, adilkah masyarakat dicap bodoh? Cukupkah semuanya diatasi hanya dengan kampanye pangan lokal? Sementara, oleh kepala daerah, desa tetap diabaikan, pertanian tetap diterlantarkan? Hmmm.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 17 Juli 2009

Tidak ada komentar: