Kasus Perbatasan Ngada dan Manggarai Timur
Oleh Frans Anggal
Ratusan warga Kecamatan Riung dan Riung Barat, Kabupaten Ngada, mendatangi DPRD Ngada di Bajawa, Senin 21 Juli 2009. Mereka menuntut bupati dan pimpinan DPRD bersama rakyat Ngada mendesak gubernur NTT menyelesaikan masalah perbatasan Ngada dan Manggarai Timur.
Tidak hanya itu. Mereka juga mendesak bupati dan ketua DPRD menandatangani surat pernyataan kesediaan berjuang bersama rakyat. Bila kedua tuntutan tidak dipenuhi, mereka akan duduki kantor bupati.
Kasihan, Bupati Piet Yos Nuwa Wea dan Ketua DPRD Thomas Dolaradho. Mereka yang kena getahnya. Padahal, ini urusannya gubernur. Mereka mau buat apa lagi kalau setelah berkali-kali berusaha, gubernurnya tenang-tenang saja?
Ketika baru habis dilantik, Bupati Nuwa Wea langsung pelajari soal perbatasan ini. Termasuk surat kesepakatan bersama (SKB) bupati Ngada dan bupati Manggarai tahun 1973 di Aimere tentang perbatasan. Ia temukan ada masalah dari segi hukum. Ia sampaikan ke gubernur. Tanggapan gubernur? Gubernur minta masalah ini dibicarakan bersama antara warga di perbatasan Ngada dan Manggarai.
Bagaimana bisa gubernur kasih jawaban seperti itu? Ia mau minta siapa? Minta bupati gelar rembuk warga perbatasan dua daerah? Bupati gila mana yang mau lakukan sesuatu yang bukan wewenangnya? Yang begini ini kewenangan gubernur. Gubernurlah yang turun tangan. Mempertemukan pemerintah dan bila perlu rakyat perbatasan kedua daerah.
Sejauh ini, gubernur belum lakukan itu. Pernah ada upaya tapi mengecewakan, kata Bupati Nuwa Wea. Ia dan pimpinan DPRD pernah diundang ke Kupang untuk tanda tangani berita acara masalah perbatasan. Tanda tangannya di lembaran kosong. Dicek, baru kaget. Ternyata isinya: menyetujui SKB Aimere 1973. Merasa ditipu, mereka protes ke gubernur.
Protes ya protes, tapi sudah tanda tangan to. Yang dikhawatirkan, implikasinya ke depan. Karena sudah tanda tangan maka bereslah perkara. Tidak ada masalah lagi dengan SKB Aimere 1973. Kalau sebelumnya pihak Ngada menilai SKB ini cacat hukum, sekarang tidak lagi, karena bupati dan pimpinan DPRD-nya sudah bubuhkan tanda tangan penuh keyakinan, menyetujui SKB itu.
Kalau benar begitu, satu hal menjadi jelas. Bahwa, dalam masalah perbatas ini, gubernur sudah punya sikap. Sikapnya: SKB Aimere 1973 sudah final. Karena itu, tidak perlu diutak-atik lagi. Dan agar semakin kukuh kekuatan hukumnya, bupati dan pimpinan DPRD Ngada yang suka protes itu diminta bubuhkan tanda tangan di atas berita acara lembaran kosong, yang ternyata isinya menyetujui SKB Aimere 1973. Nah, kena deh!
Kalau begitu ceritanya, kurang ajar. Ini penipuan. Kejahatan. Berita acara yang terlanjur ditandatangani harus dibatalkan melalui mekanisme yang dibenarkan hukum. Karena itu, protes saja tidaklah cukup, apalagi jika sampai sekarang pembatalan belum terjadi. Bupati dan pimpinan DPRD Ngada harus lebih berani. Tempuh saja jalur hukum. Gugat itu gubernur. Jangan hanya protes lalu diam, pasrah.
Selanjutnya, desak ke gubernur penyelesaian perbatasan yang demokratis. Libatkan rakyat wilayah perbatasan. Jangan ulangi penyelesaian elitis, apalagi yang tidak lucu itu. Bayangkan, bupati dan pimpinan DPRD Ngada mau saja disuruh tanda tangani lembaran kosong. Ini namanya pemimpin berani mati. Setelah mati baru kaget.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 29 Juli 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar