Kasus Kematian Yoakim Langoday
Oleh Frans Anggal
Andaikan Anda bupati, lalu anak Anda ditetapkan jadi tersangka kasus pembunuhan, bagaimana perasaan Anda? Mungkin sulit dilukiskan. Tapi, hampir pasti, selalu bisa diekpresikan.
Andreas Duli Manuk, bupati Lembata, misalnya. Ia ekspresikan dengan kata-kata, dalam konferensi pers di Lewoleba, Selasa 28 Juli 2009. “Secara pribadi saya terpukul karena anak saya sejahat itu kah?” Anaknya, Erni Manuk, ditetapkan jadi tersangka kasus kematian Yoakim Langoday, Kabid Pengawasan, Pengolahan, dan Pemasaran Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata yang ditemukan tewas di hutan bakau Pantai Lamahora, 19 Mei 2009.
Awalnya, Erni diperiksa terkait kepemilikan mobil Escudo merah EB 50 DI. Mobil itu miliknya. Selanjutnya, Minggu 26 Juli 2009, mobil diambil paksa polisi dari halaman rujab bupati. Alasan: mobil inilah yang mengangkut para tersangka pelaku pembunuhan pada hari kejadian. Berselang dua hari, Selasa 28 Juli 2009, Erni ditetapkan jadi tersangka. “Bisa secepat itu ko anak saya ditetapkan sebagai tersangka. Setahu saya dia selama ini diperiksa sebagai pemilik mobil,” kata Ande Manuk.
Boleh jadi mobil itu ‘terlibat’ pembunuhan Langoday. Jika demikian, Ande Manuk sudah ambil sikap: tidak akan terima kembali mobil itu. Mau diapakan, terserah polisi. Tidak demikian dengan anaknya. Ia bela. Ia yakin, anaknya tidak terlibat. Sebab, pada hari kejadian, anaknya ke Denpasar. “Saya sebagai bapa tahu ke mana dia berangkat, saya tahu.”
Semua itu, kata-kata Ande Manuk sebagai seorang ayah. Ayah yang mencintai anak. Dan kalau sudah menyangkut cinta kepada anak, orangtua bisa mengorbankan apa saja. Amor vincit omnia, kata pepatah Latin. Cinta mengalahkan semuanya.
Ini sengketa kepentingan. Ande Manuk sadar akan bahayanya. Ke-ayah-an bisa mengalahkan ke-bupati-an. Ia juga sadar, publik akan cenderung berpikir seperti itu. Maka, ia gelar konferensi pers. Ia nyatakan sikap: menghargai proses hukum. Ia imbau masyarakat tidak main hakim sendiri. Ia ajak semua pihak junjung tingga asas praduga tak bersalah. Tidak hanya itu. Ia tidak berkontak dengan kapolres. Ia tak mau beri kesan mengintervensi proses hukum.
Luar biasa. Kita salut. Kita berharap sikapnya konsisten sampai proses hukum kasus Langoday tuntas. Tidak mudah, tentu. Sebab, yang bersengketa bukan siapa-siapa, tapi diri sendiri. Sengketa aku melawan saya. Aku ayah melawan saya bupati. Dua perasaan diperhadapkan. Perasaan kasihan dan tega (sebagai sifat psikologis sang ayah) melawan perasaan adil dan tak adil (sebagai sifat moral yang harus dimiliki sang bupati).
Mana yang harus dimenangkan? Dalam negara hukum, pilihannya jelas: sifat-sifat moral. Pertimbangan moral yang langgeng harus menang atas belaskasihan dan rasa tega yang mudah datang dan pergi. Keadilan tak boleh terhapus oleh airmata. Airmata itu sementara saja. Nihil lacrima citius arescit, kata Cicero. Tak ada yang lebih cepat kering ketimbang airmata.
Untuk itu, dibutuhkan ketegaran sikap. Tampaknya, Ande Manuk memilikinya. Ia sudah berujar lantang dalam konferensi pers: “Bagi saya, anak saya tersangka atau tertuduh, saya rela, asal yang benar.”
Jadi? Kalau bersalah, ya, harus dihukum dong! Dura lex, sed lex. Hukum memang keras, tetapi itulah hukum.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 30 Juli 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar