22 Juli 2009

Setelah Rekonstruksi Itu

Kasus Kematian Rm Faustin Sega Pr

Oleh Frans Anggal

Di rumah Anus Waja, di Hobotopo, Romo Faustin Sega Pr disuguhi kopi. Setelah minum, ia sakit perut dan pusing. Saat itulah ia dipukul para pelaku. Setelah sekarat, ia dibawa keluar menuju hand tractor. Kakinya diikat. Ia diangkut ke Dena Biko. Di tempat ini, dipukul lagi. Urbanus dan Anus Waja memukulnya pakai kayu. Antonius Seke menendang. Theresia Tawa menampar serta memasukkan tanah dan rumput ke mulutnya. Setelah dipastikan tewas, jenazah mereka letakkan di bawah pohon. Sebelum tinggalkan lokasi, mereka atur segala sesuatunya rapi. Motor korban diparkir 100 meter dari lokasi. Tas dan helm ditaruh di samping jenazah. Seolah-olah korban mati wajar.

Begitulah ringkasan narasi rekonstruksi pembunuhan Romo Faustin yang digelar tim Polda NTT di tempat kejadian perkara, Sabtu 18 Juli 2009.

Rekonstruksi ini mengukuhkan satu hal. Hal yang sudah lama terkuak dan terkuatkan oleh autopsi dan hasil penyidikan tim polda. Bahwa, Romo Faustin mati tidak wajar. Ia mati karena tindak kekerasan. Mati karena dibunuh. Dibunuh secara berencana. Semua itu klop dengan ringkasan narasi rekonstruksi.

Seandainya ini pentas, bukan proses hukum, kita bisa mengatakan: Acta est fabula. The play is over. Sandiwara telah berakhir. Plaudite! Bertepuk tanganlah! Semuanya sudah jelas. Begitulah kisahnya. Dan hanya itulah kisahnya. Tak ada kisah lain. Kalaupun ada, kisah lain itu tidak relevan dengan kematian korban. Kisah lain itu, misalnya, dituturkan Theresia Tawa kepada tabloit Expo NTT. Kisah perbuatan asusila, dengan gaya pemberitaan yang tak beda dengan pornografi.

Bagaimana bisa dipercaya? Kebenarannya tidak bisa diverifikasi. Romonya sudah mati. Daripadanya tidak bisa diperoleh hak jawab, hak bantah, hak gugat. Omong tentangnya hal seburuk apa pun, orang yang sudah meninggal tak bakal menyahut. Ia tidak bisa lagi gunakan hak jawab, hak bantah, hak gugat.

Menyadari hal ini, manusia beradab sejagat mewarisi dan mewariskan sikap bijaksana. De mortuis nihil nisi bene. Tentang orang yang sudah berpulang, tak ada yang dapat diceritakan kecuali tentang yang baik. Ini ungkapan Latin klasik. Ungkapan keadaban, warisan bersama umat manusia.

Sayang, Theresia Tawa dan tabloit yang memuat pornografinya tidak berada dalam keadaban ini. Mereka melenceng sendirian. Menjadi semacam anomali keadaban.

Ini bukan by accident. Ini by design. Menarik, misalnya, memperbandingkan tuturan Theresia Tawa di tabloit dengan BAP di Polres Ngada. Kajian bahasa bisa memastikan tingkat kewajaran. Kalau sama dan sebangun dengan BAP, patut dapat diduga tuturan itu merupakan bocoran BAP. BAP yang dituangkan ke atas kertas ber-SIUPP.

Masih banyak hal yang patut dapat diduga. Namun kita cukupkan sampai di sini. Sebab, semua itu tidak relevan. Seporno apa pun kisahnya, tidak dapat dijadikan pembenaran bagi penghilangan paksa nyawa seseorang.

Tentang kisah yang tak relevan, sikap yang patut adalah berdiam diri. Ungkapan Latin klasik mengajarkan itu. Si decem habeas linguas, mutum esse addecet. Bahkan jika engkau memiliki sepuluh lidah, sebaiknya engkau tetap diam. Si tacuisses, philosophus mansisses. Andaikan engkau tetap diam, mungkin engkau tetap menjadi seorang filsuf.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 23 Juli 2009

Tidak ada komentar: