Tindak Lanjut Perpas VIII Regio Nusara
Oleh Frans Anggal
Pertemuan Pastoral (Perpas) VIII Regio Nusa Tenggara di Hotel Sylvia, Maumere, sudah berakhir. Perpas sepekan bertema “Gereja Nusa Tenggara Peduli Petani Membangun Kedaulatan Pangan” ini hasilkan 31 rekomendasi. Kamis malam 23 Juli 2009, rekomendasi diserahkan ke Gubernur NTT.
Gubernur Frans Lebu Raya berjanji menindaklanjuti butir-butir rekomendasi. Seperti apa tindak lanjutnya, belum jelas. Sedangkan Bupati Sikka Sosimus Mitang langsung teken MoU dengan Uskup Maumere Mgr Gerulfus Kherubim Pareira SVD.
Tanpa mengurangi apresiasi terhadap perpas, kita catat beberapa hal. Intinya: kedaulatan pangan itu tidak mudah.
Pertama, tema perpas menyebutkan Gereja Nusra peduli petani. Pedulinya petani, namun tempat perpasnya bukan pondok petani di ladang. Tapi hotel, hotel baru, hotel berbintang, di kota Maumere. Perpas sepertinya juga menyatu dengan hotel. Awal perpas ditandai misa syukur peresmian hotel.
Ini menceritakan satu hal. Peduli itu tidak mudah. Di luar hotel, masih begitu banyak petani miskin yang khawatir akan hari esok, yang tak punya rumah yang layak meski sederhana, yang tak punya akses ke palayanan medis dasar, yang tidak bisa berpartisipasi dalam kekayaan budaya, kehidupan sosial dan politik.
Gereja lewat Sollicitudo Rei Socialis (nomor 28 dan 16) mengingatkan. “Salah satu ketidakadilan dalam dunia sekarang adalah: hanya orang relatif sedikit memiliki banyak, dan banyak yang hampir tidak memiliki apa-apa. Ini adalah ketidakadilan pembagian buruk benda dan pelayanan yang semula diperuntukkan bagi semua. Bahwa pada saat kemiskinan masih merajalela, ada yang memamerkan kekayaan ... membuat kita merasa marah dan tersandung.”
Kedua, kita penasaran ingin tahu: apa saja yang dimakan dan diminum perserta selama perpas. Mudah-mudahan konsumsinya pangan lokal. Ada jagung. Ubi-ubian. Celaka kalau makan roti atau mi instan. Roti dan mi itu dari gandum, dan gandum seratus persen diimpor. Kalau nasi, mudah-mudahan dari padi varietas lokal, bukan transgenik. Begitu juga sayurnya. Buahnya. Semoga dari Flores, bukan dari Bali atau Amerika.
Kepenasaran kita menceritakan satu hal. Berdaulat dalam pangan tidaklah mudah. Di masyarakat Indonesia telah terjadi tren meningkatnya konsumsi gandum per kapita per hari. Ini berbanding terbalik dengan konsumsi beras yang justru menurun. Mi instan sudah menjadi makanan pokok kedua. Masuk sampai ke kampung-kampung. Ini arus besar. Gerakan kedaulatan pangan adalah gerakan melawan arus.
Ketiga, dalam perpas, begitu mudahnya Gereja dan pemerintah bersepakat. Gubernur NTT berjanji tindak lanjuti butir rekomendasi. Bupati Sikka teken MoU dengan Uskup Maumere. Sepakatnya gampang, laksananya sulit. Bukan karena pemerintah bakal berkhianat. Letak soalnya pada paradigma. Gereja maju dengan “kedaulatan pangan” . Pemerintah masih dengan “ketahanan pangan”.
Bagi pemerintah (PP No. 68 Tahun 2002), hal terpenting adalah terpenuhinya pangan bagi rumah tangga.Tersedia cukup dalam jumlah dan mutu, aman, merata, dan terjangkau. Tidak diatur, bagaimana pangan diproduksi dan dari mana pangan berasal. Maka, impor pun gencar. Petani dirugikan. Pangan lokal tergusur.
Nah, mau berdaulat pangan bagaimana? Tidak mudah. Tapi juga tidak mustahil. Gubenur NTT sudah janji. Bupati Sikka sudah teken MoU. Kita mau lihat, seperti apa.
“Bentara” FLORES POS, Senin 27 Juli 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar