Kedaulatan Pangan, Kedaulatan Petani, Kedaulatan Negara
Oleh Frans Anggal
Keuskupan Regio Nusra membahas kedaulatan pangan dalam pertemuan pastoral (perpas) di Maumare, 20-25 Juli 2009. Fokusnya, kedaulatan pangan petani. Karena itu, tema yang dipilih: “Gereja Nusa Tenggara Peduli Petani Membangun Kedaulatan Pangan”.
Pilihan tema ini tepat. Membangun kedaulatan pangan dikaitkan dengan kepedulian pada petani. Omong kedaulatan pangan mesti omong kedaulatan petani. Kedaulatan pangan harus bertumpu pada dan didukung oleh kedaulatan petani. Tanpa kedaulatan petani, tak ada kedaulatan pangan sejati.
Kedaulatan petani hanya bisa terwujud kalau hak asasi petani diakui, dipenuhi, dan dilindungi. Hak atas kehidupan layak. Hak atas sumber-sumber agraria. Hak atas kebebasan budidaya dan tanaman. Hak atas modal dan sarana produksi pertanian. Hak atas akses informasi dan teknologi pertanian. Hak atas kebebasan menentukan harga dan pasar produksi pertanian. Hak atas perlindungan nilai-nilai budaya pertanian. Hak atas keanekaragaman hayati. Hak atas kelestarian lingkungan.
Di hadapan hak ini, negaralah pengemban kewajiban. Negara wajib mengakui, memenuhi, dan melindunginya. Namun, itu hanya mungkin kalau negara berdaulat. Sebab, kedaulatan pangan hanya bisa kalau ada kedaulatan petani. Dan kedaulatan petani hanya bisa kalau ada kedaulatan negara. Justru ini pokok soal kita. Tak adanya kedaulatan negara!
Negara kita belum mampu membebaskan diri dari rezim Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Selama ini kita mengadopsi kebijakan pangan neo-lib yang sangat pro pasar bebas (free-market). Kebijakan ini didikte IMF dan Bank Dunia. Misalnya: penghapusan/pengurangan subsidi. Penurunan tarif impor pangan bahan pokok (beras, terigu, gula, dll). Pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan bahan pangan, contohnya mengubah Bulog dari lembaga pemerintah non-departemen menjadi perusahaan umum miliki pemerintah.
Kebijakan tersebut merugikan petani. Naiknya harga berbagai bahan pangan tidak membawa keuntungan bagi petani. Nilai tambah membaiknya harga bahan pangan justru dinikmati kaum pedagang. Penelitian Surono-HIVOS 2003 menunjukkan, pihak yang paling banyak mengambil keuntungan dalam rantai perdagangan beras adalah pengusaha penggilingan, pedagang besar, dan pedagang pengecer. Yang lebih memprihatinkan, sejak program raskin diluncurkan, petani adalah pihak yang paling banyak menjadi penerima tetap beras raskin.
Dalam kondisi seperti ini, kita mau bicarakan kedaultan pangan. Bagaimana mungkin ada kedaulatan pangan kalau tak ada kedaulatan petani? Bagaimana mungkin ada kedautan petani kalau tak ada kedaulatan negara? Bagaimana mungkin negara berdaulat kalau tidak mampu bebaskan diri dari IMF, Bank Dunia, dan WTO? Bagaimana mungkin negara bisa bebaskan diri kalau yang jadi presiden dan wapres tetap terhipnotis oleh paradigma neo-lib?
Ini semua benang kusut. Mudah-mudahan perpas di Maumere bisa mengurainya. Kita ingin segera mendapatkan hasilnya. Bagaimana persisnya Gereja Nusa Tenggara membangun kedaulatan pangan.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 21 Juli 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar