Mengkritik Pernyataan Tim Pemenangan Pilpres
Oleh Frans Anggal
Gabriel Suku Kotan mengatakan, masyarakat harus memilih paket capres-cawapres yang berpeluang menang pada pilpres 8 Juli 2009. Paket SBY-Budiono. Peluang menang paket ini didasarkan pada tingkat elektabilitasnya sebesar 71 persen, menurut hasil survei LSI. “Kalau masyarakat NTT umumnya dan Flores-Lembata khususnya tidak memilih SBY maka suara yang diberikan nanti sia-sia. Dengan demikian, NTT akan tetap terkebelakang seperti sekarang,“ kata Suku Kotan di Kupang, Selasa 16 Juni 2009. Dia Koordinator Pemenangan SBY-Budiono untuk Kabupaten Lembata, Alor, Flotim.
Itulah propaganda musim kampanye. Hal yang sama dilakukan tim Mega-Pro dan JK-Win. Berapi-api, mau meyakinkan. Segala jenis argumentasi pun digunakan, termasuk yang menyalahi logika. Logika bengkok. Apa yang bengkok dari pernyataan Suku Kotan?
Pertama, ia mengatakan, SBY-Budiono berpeluang menang karena begitulah hasil survei LSI. Ini namanya argumentum ad auctoritatem (Latin: auctoritas = kewibawaan). Nilai penalaran ditentukan oleh otoritas atau kewibawaan pihak yang mengemukakannya. Seolah-olah, karena LSI yang omong maka otomatis benar. Padahal, belum tentu.
Yang disampaikan LSI itu hasil survei, bukan hasil pilpres. Survei itu sendiri dibuat atas pesanan tim SBY-Budiono untuk tujuan pencitraan. Kalau tujuannya pencitraan maka hasil survei bisa lain bahkan harus lain jika yang memesan adalah paket lain. Hasil survei tergantung dari banyak faktor. Metodologinya, waktu dan tempatnya, respondennya, pemesannya, tujuannya, dan ongkosnya.
Kedua, Suku Kotan mengatakan, kalau masyarakat NTT tidak memilih SBY maka suara yang diberikan nanti sia-sia. Dengan demikian, NTT akan tetap terkebelakang seperti sekarang. Ini namanya argumentum ad baculum (Latin: baculus = pentungan). Argumen ancaman yang mendesak orang agar menerima simpulan dengan alasan bahwa jika ditolak maka muncul akibat buruk. Seakan-akan, tanpa SBY-Budiono, NTT hancur terus. Padahal, belum tentu.
Yang sekarang memerintah, siapa? SBY! Hasilnya? Suku Kotan sendiri sebenarnya sudah menjawab dengan mengatakan, “NTT tetap terkebelakang seperti sekarang.” Artinya, tetap terkebelakang seperti pada masa pemerintahan SBY sekarang ini. Kalau pada masa pemerintahannya sekarang NTT tetap terkebelakang, mengapa harus pilih lagi dia? Untuk apa memilih kembali yang sudah terbukti dan teruji gagal melepaskan NTT dari keterbelakangan?
Yang kita kritik di sini bukan SBY-nya, tapi logika yang digunakan timnya. Logika bengkok. Logika serupa dipakai tim Mega-Pro dan JK-Win dalam kasus lain, bahkan oleh ketiga paket itu sendiri. Ini tidak mencerdaskan masyarakat.
Kita citakan pilpres bermutu. Salah satu cirinya, tertib berpikir, sahih bernalar. Tanpa itu, masyarakat selalu jadi korban. Disesatkan dan dibodohkan.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 20 Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar