08 Juni 2009

Manohara, Prita, dan Kita

Bahaya yang Ditebar UU ITE

Oleh Frans Anggal

Di tengah berita hangat Manohara Odelia Pinot, muncul berita lain: Prita Mulyasari. Dua figur dengan dua nasib. Manohara istri pangeran Klantan Malaysia. Prita istri orang kebanyakan. Manohara korban KDRT. Prita korban tindakan medis rumah sakit. Manohara hendak memproses hukum pelakunya sang suami. Prita justru diproses hukum pelakunya RS Omni International. Manohara masuk keluar studio tv sebagai selebritis untuk diwawancarai. Prita masuk (lalu) keluar tahanan sebagai tersangka untuk disidik. Mungkin nanti: Manohara jadi artis sinetron. Prita jadi pesakitan meja hijau. Manohara figur publik entertain. Prita figur bilik jeruji besi.

Prita digugat RS Omni International gara-gara email curhat. Curhatnya berjudul “RS Omni Dapatkan Pasien dari Hasil Lab Fiktif”. Di luar dugaannya, curhat ke sebuah milis itu tersebar luas. Ia dikenai delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, menurut pasal 27 ayat 3 UU ITE. Ancaman penjaranya di atas 5 tahun. Karena itu, ia ditahan. Atas tekanan publik, ia dibebaskan. Namun, proses hukum jalan terus.

Kasus Prita heboh karena baru dan bisa jadi preseden buruk. Tindak pidana dalam pasal 27 UU ITE mengatur mengenai larangan dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik terhadap 4 muatan yaitu: muatan yang melanggar kesusilaan, muatan perjudian, muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

UU ini berbahaya. Pertama, rumusan pasalnya, terutama pasal 27, tidak akurat sehingga melahirkan banyak penafsiran. Ini menyalahi asas lex certa. Akibatnya, lahir ketidakpastian hukum. Tidak jelas lagi, misalnya, apakah protes, pernyataan pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan.

Kedua, UU ITE membuka peluang kriminalisasi besar-besaran. Hampir semua perbuatan tak patut (secara agama, moral, etika) atau tidak disukai digolongkan sebagai kejahatan. Kita tidak bisa bedakan lagi mana pelanggaran kesopanan dan mana yang merupakan delik. Overkriminalisasi akan mengarah pada penyalahgunaan sanksi kriminal (the misuse of criminal sanction). Hukum pidana dijadikan alat penekan atau pembalas.

Ketiga, UU ITE berpotensi langgar HAM: menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran lisan, tulisan, dan ekspresi.

Ketiga bahaya itu menggumpal nyata dalam kasus Prita. Bayangkan, Prita sang korban tindakan medis dijadikan pula korban tindakan hukum. Oleh rumah sakit itu, ia ‘disalibkan’ dua kali. UU ITE memungkinkannya.

Nasib Prita bisa menjadi nasib kita, para pengguna internet. Selagi UU ITE belum disempurnakan, akan muncul Prita-Prita lain. UU ini harus direvisi.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 9 Juni 2009

Tidak ada komentar: