15 Juni 2009

Ende, Korupsi Diskresi

Kasus Alat Uji Kendaraan di Dishub Ende

Oleh Frans Anggal

Sudah 6-7 tahun alat uji kendaraan di Dihub Ende menjadi barang ‘rongsokan’. Alat uji kendaraan roda empat. Dibeli tahun 2002, seharga Rp1 miliar lebih. Sempat digunakan sebentar lalu rusak dan tidak bisa digunakan lagi. Diduga, ini barang rakitan, bukan asli (built in) dari pabrik. Bisa jadi juga barang bekas.

Lain lagi ceritanya alat uji kendaraan roda dua. Dibeli 2003, juga Rp1 miliar lebih. Belum diketahui asli, rakitan, ataukah barang bekas karena belum pernah diuji coba. Belum diuji coba karena belum ada perdanya. Belum ada perda karena belum ada acuan hukum yang lebih tinggi.

Pengadaan kedua alat ini pun tidak sesuai dengan nomenklatur. Pengguna anggarannya Dishub. Semestinya Dishub yang mengadakan barang. Ini tidak. Yang mengadakan barang, Bagian Umum.

Kasus ini sempat diproses hukum. Mampir di polisi sejenak lalu senyap. Kandas karena ‘konon’ saksi kunci di Surakarta, pihak yang bertransaksi dengan Bagian Umum, sakit berat. Selanjutnya, ‘konon’ pula, pabriknya sudah bangkrut.

Apa lalu kasus ini layak didiamkan? Tidak! Kabid Perhubungan Darat Lodovikus Robiyanto She dan anggota DPRD Ende Heribertus Gani mendesakkan evaluasi. Tepat dan wajar. Apa pun kegiatan perlu evaluasi. Kalau sudah menyangkut pemanfaatan keuangan negara, evaluasi haruslah berupa audit. Hasil audit akan menentukan langkah hukum.

Keharusan evaluasi kini ada di pundak bupati-wabup baru Don Bosco M Wangge dan Achmad Mochdar. Publik percaya, di tangan Wangge-Mochdar kasus ini akan tuntas. Dasar kepercayaan publik adalah perubahan konfigurasi politik di Ende. Menurut tesis Prof Machfud MD (2001), karakter produk hukum sangat dipengaruhi watak (elite) pemegang kekuasaan (negara). Eksistensi produk hukum akan selalu berubah seiring dengan berubahnya konfigurasi politik (negara). Jika konfigurasi politik (negara) tampil demokratis, hukum jadi responsif. Namun, ketika konfigurasi politik (negara) berwatak otoriter, hukum pun konservatif, tak jarang menjadi alat legitimasi watak dominan para aktornya.

Di era Orde Baru, di mana konfigurasi politik (negara) berwatak otoriter, produk hukum kerap melegalkan praktik korupsi (discrecy corruption). Keppres, misalnya, dibuat untuk melindungi korupsi. Korupsi diskresi adalah korupsi berbalut keputusan hukum. November 1998, Masyarakat Transparansi Indonesia menemukan 79 keppres berindikasi KKN. Mantan Ketua MA Bagir Manan pun mengingatkan para hakim agar cermat karena sejak awal, putusan administrasi pun bisa dibuat dengan tujuan korupsi.

Simaklah pengadaan alat uji kendaraan Dishub Ende. Pengadaannya oleh Bagian Umum, bukan oleh Dishub pengguna anggaran. Kebijakan administrasi ini jelas mengindikasikan korupsi diskresi. Lalu, mau didiamkan terus?

“Bentara” FLORES POS, Selasa 16 Juni 2009

2 komentar:

wongdeso_bikinblog mengatakan...

Berbicara tentang anggaran negara, berarti berbicara tentang tanggung jawab. setiap pelaksanaan suatu anggaran setidaknya ada dasar hukum dan payung hukum, sebagai landasan dalam pelaksanaan suatu anggaran. Dewan sebagai pembuat aturan hukum harus betul betul peka dengan apa yang terjadi dengan setiap permasalahan di wilayahnya, sehingga prodak hukum yang dibuatnya selalu siap dilaksanakan oleh masyarakat maupun pemerintah.

wongdeso_bikinblog mengatakan...

laksanakan tugas sesuia denga job yang telah diberikan, dan lakukan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan