Kawin-paksakan Tambang dengan Pariwisata
Oleh Frans Anggal
Melalui berbagai publikasi, Labuan Bajo ibu kota Kabupaten Mabar dibabtis sebagai kota multi-predikat. Kota pemerintahan, kota pariwisata, kota pendidikan, kota bisnis. Yang baik-baik ini terucap di media, biasanya oleh pejabat. Maka, terciptalah realitas media. Ilmu komunikasi mengingatkan, realitas media tidak sama dan sebangun dengan realitas empirik.
Bagaimana yang empirik, yang senyatanya, datanglah ke Labuan Bajo. Amatilah Labuan Bajo. Kalau boleh, tempatkan diri dalam posisi dan situasi warganya. Lihatlah dari sudut pandang mereka. Dengarkan rintihan mereka. Ikutlah tergetar oleh sedu-sedan mereka. Turutlah tersayat oleh kepedihan mereka. Maka, apa itu Labuan Bajo? Bukan hanya kota pemerintahan, pariwisata, pendidikan, dan bisnis. Labuan Bajo adalah juga kota penuh kontras.
Kontras paling mencolok terlihat antara ‘katanya’ dan ‘nyatanya’ sebagai kota pariwisata. Di mana-mana pariwisata butuh air bersih memadai. Di Labuan Bajo, justru ini yang sulit atau mungkin dipersulit (sampai sekarang Mabar tak punya PDAM, air masih diurus dinas PU). Dalih klisenya: anggaran terbatas maka pembangunan harus bertahap. Itu benar, tapi bukan pokok soal. Keterbatasan anggaran itu kenyataan. Kebertahapan pembangunan itu keharusan. Namun, intinya bukan itu, tetapi pilihan kebijakan mendahulukan yang mana. Bangun ini itu, bisa. Beli ini itu, bisa. Ada uangnya. Kenapa mencukupkan air bersih bagi warga kota tidak, dan tidak pula menjadikannya prioritas kepedulian?
Di mana-mana pariwisata butuh kebersihan dan ketertiban. Di Labuan Bajo, ini juga sulit. Sampah mekar berkembang di mana-mana. Seperti turis, ternak bebas pesiar ke mana-mana pula. Beda dengan PNS, sapi tidak takut sama bupati. Bisa melintas sambil buang apa yang perlu dibuang di ruas jalan depan kantor yang terhormat. Soal tertibkan ternak, sudah ada perdanya, tapi ompong. Sudah ada petugasnya tapi nongkrong. Sudah ada sanksinya tapi omong kosong. Semua itu tidak jalan. Yang belum dicoba, sosialisasi perda langsung kepada sapi, kerbau, dan kambing. Kalau ternak-ternak ini sadar, baru aman.
Di mana-mana pariwisata butuh lingkungan lestari. Di Labuan Bajo, yang ini pun mulai sulit. Di Batu Gosok, yang masih termasuk kawasan kota dan jalur hijau, tak jauh dari bibir pantai, kini berlangsung eksplorasi tambang emas. Dengan izin yang kontroversialnya, bupati mau kawin-paksakan pariwisata yang mengharuskan pelestarian lingkungan dengan tambang terbuka yang justru akan menghancurkannya. Yang bakal terjadi nanti: kekerasan dalam rumah tangga. Pariwisata yang feminin akan teraniaya oleh pertambangan yang maskulin.
Itulah Labuan Bajo. Penuh kontras. Biang keroknya, siapa lagi, pemkab selaku regulator. Dengan kawin-paksakan sejoli tak jodoh, pemkab lakukan dua gerak berlawanan. Gerak sentrifugal, ke luar: mempromosikan pariwisata. Bersamaan dengan itu, gerak sentripetal, ke dalam: menghancurkannya. Apa ini waras? DPRD dan masyarakat jangan biarkan. Akhiri kawin paksa ini. Cepat ceraikan.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 27 Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar