Kunjungan Wapres Boediono ke Ende
Oleh Frans Anggal
Kunjungan kerja (kunker) Wapres Boediono ke Ende, Selasa 28 Desember 2010, disambut demo elemen mahasiswa dari LMND, HMI, dan KAMMI. Mereka menilai kunker berbiaya besar itu suatu pemborosan. Mereka pertanyakan manfaatnya bagi petani, nelayan, buruh, dan masyarakat luas Kabupaten Ende (Flores Pos Rabu 29 Desember 2010).
Kunker ini pemenuhan janji wapres saat kampanye pilpres 2009. Ia janjikan pemugaran 4 situs Bung Karno. Meliputi: rumah kediaman Bung Karno, Taman Pancasila tempat Bung Karno merenungkan Pancasila, Gedung Immaculata tempat tonil-tonilnya dipentaskan, dan makam ibu mertuanya, Ibu Amsih. Total dana Rp30 miliar.
Bagi aparat kepolisian, aksi para mahasiswa merepotkan. Bagi sebagian masyarakat bahkan menjengkelkan. Sebab, mengganggu kenyamanan mereka menyaksikan kunjungan wapres. Apakah karena itu lantas para mahasiswa harus dipersalahkan? Sama sekali tidak!
Bagi yang kepetingannya terganggu, aksi mereka jelas dianggap sebagai gangguan. Namun, bagi yang kritis, pada kesejatian hakikatnya aksi mereka bukanlah “gangguan”, tapi “gugatan”. Lewat poster, orasi, dan pentas teatrikal, mereka pertanyakan laku boros para pejabat negara. Habiskan dana berlimpah untuk kunker, yang duitnya bersirkulasi di antara mereka, hingga hanya mentetes sedikit bahkan tak ada bagi rakyat.
Gugatan mereka bukan tanpa dasar. Pejabat kita memang boros koq. Anggaran kunker atau stuba duhai tingginya. Simaklah APBN 2010. Total belanja perjalanan dinas Rp19,5 triliun. Dua kali lipat daripada dana sejumlah program penanggulangan kemiskinan. BOS dan PNPM Mandiri hanya Rp7,4 triliun. Jamkesmas cuma Rp4,5 triliun. Bayangkan!
Menurut data Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), khusus anggaran kunker ke luar negeri 2010, presiden dan DPR tempati peringkat pertama. Sepanjang 2010, presiden habiskan Rp179,03 miliar. DPR habiskan Rp170,351 miliar. Sejumlah kementerian juga habiskan tidak sedikit.
Ini menujukkan apa? Kepekaan pejabat kita terhadap derita rakyat sangatlah rendah, untuk tidak mengatakannya kosong-melompong. Berboros-boros di tengah kemiskinan rakyat tidak hanya merupakan ironi, tapi juga skandal. Bahkan sebuah kejahatan sosial.
Pesan Natal 2010 PGI-KWI sangat relevan. “Para penanggung jawab publik tidak sepenuhnya memperjuangkan kepentingan rakyat kebanyakan. Para penanggung jawab publik memperlihatkan kinerja dan moralitas yang cenderung merugikan kesejahteraan bersama. Sorotan media massa terhadap kinerja penanggung jawab publik yang kurang peka terhadap kepentingan masyarakat, khususnya yang terungkap dengan praktik korupsi dan mafia hukum hampir di segala segi kehidupan berbangsa, sungguh-sungguh memilukan dan sangat memprihatinkan, karena itu adalah kejahatan sosial.”
Dengan formulasi berbeda, inti terdalam aksi mahasiswa di Ende, ya, seperti itu. Malahan lebih daripada itu. Mereka tidak hanya prihatin, tapi juga menggugat, mengkritik, mengecam, dan mendesakkan perubahan. Indonesia pasca-reformasi ternyata tetap berkanjang dalam budaya bernegara yang hanya memenangkan yang kuat dan berkuasa atas yang kecil, lemah, dan miskin.
Wapres telah pergi. Ende kini menunggu situs Bung Karno dipugar. Akankah hasil pemugaran akan pantas dan layak bagi dana Rp30 miliar? Kontrol mahasiswa dan elemen civil society lainnya sangat dibutuhan. Sebab, di negeri para maling, tak ada yang tak bisa dicuri. Di negeri para pemboros, tak ada yang tak bisa dihabiskan.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 4 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar