Cara Wawas Sesat Kasus Serise
Oleh Frans Anggal
Tokoh Manggarai Timur di Jakarta, Cypri Aoer, melihat kasus di Serise, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, sebagai sengketa dua masyarakat adat: Serise vs Satarteu. Karena itu, ia dukung sikap pemkab. Serise dan Satarteu harus berembuk. Sedangkan JPIC harus kedepankan peran mediasi (Flores Pos Kamis 6 Januari 2011)
Dalam catatan Flores Pos, Cypri Aoer orang kedua yang jelas-tegas mendukung cara wawas, sikap, dan langkah pemkab. Sebelumnya, Rofino Kant, aktivis demokrasi dan lingkungan, di Ruteng. Cara wawas pemkab terlihat dari pernyataan Bupati Yoseph Tote. Masalah di Serise bukan masalah tambang, tapi masalah tanah (Flores Pos Kamis 25 November 2010). Maksudnya: masalah klaim tanah ulayat antara Serise dan Satarteu.
Dengan cara wawas itu, pemkab bersikap: perlunya Serise dan Satarteu duduk berembuk. Atas dasar sikap itu, pemkab mengambil langkah mediasi: mempertemukan Serise dan Satarteu di Dampek, Sabtu 27 November 2010. Hasilnya, kosong. Serise tidak mau datang, meski sudah dijemput.
Kenapa Serise tidak datang? Karena mereka tidak ada masalah dengan Satarteu! Mereka bermasalah dengan PT Arumbai Mangabekti, yang menyerobot dan menambang mangan di tanah ulayat mereka, lingko Rengge Komba. Karena itu, pada hari yang sama, setelah sepekan memagari dan menduduki lokasi tambang, Serise menggelar ritus adat “takung ceki ali rewak lingko”. Mereka korbankan seekor babi bagi nenek moyang karena lingko telah hancur oleh eksploitasi mangan (Flores Pos Senin 29 November 2010).
Ini ritus rekonsiliasi dengan roh nenek moyang. Dalam perasaan religius mereka, nenek moyang telah marah. Mereka tidak menjaga tanah leluhur, sehingga akhirnya tanah itu diklaim pihak tak berhak dan dieksploitasi penyerobot. Tanah itu kini terluka oleh tambang. Mereka telah berdosa terhadap leluhur dan alam. Mereka khawatirkan murka. Lewat kurban ini mereka minta ampun, damai, dan berkat (“Bentara” Flores Pos Selasa 30 November 2010).
Apakah Serise sedang bersandiwa? Tidak! Ritus seperti ini terlalu suci untuk dijadikan permainan. Mereka orang-orang sederhana, bukan politisi busuk. Mereka lakukan ritus itu dengan jujur, dalam kondisi perih sebagai korban. Korban perselingkuhan penguasa dan kapitalis tambang. Ini yang tidak (mau) dilihat oleh bupati. Tidak (mau) dilihat oleh Rofino Kant. Tidak (mau) dlihat oleh Cypri Aoer.
Serise itu korban! Maka, langkah yang diambil JPIC adalah advokasi. Adapun mediasi, sudah dilakukan, ke Arumbai sebagai lawan sengketa Serise, ke bupati sebagai regulator, ke DPRD sebagai legislator. Mediasi itu hanya jalan, cara. Sikap dasar JPIC tetap: membela korban. Advokasi! Mediasi ke Satarteu? Tidak pernah dan tidak akan! Sebab, ini masalah tambang, Serise vs Arumbai. Bukan sengketa tanah ulayat Serise vs Satarteu.
Ketika “Bentara” Flores Pos Selasa 28 Desember 2010 mengutip dan mengkritisi pernyataan Rofino Kant soal peran mediasi JPIC, anggota grup “Sejuta Facebookers Tolak Tambang di NTT” Pater Joanes Christof OFM melontarkan pertanyaan. “Siapa sih Rofino Kant yang tiba-tiba mau menjadi pendamai? Dia ada di mana ketika orang Sirise berteriak dan menangis ketika hak-haknya dirampas?”
Seandainya “Bentara” Flores Pos edisi ini dibaca Pater Christof, mungkin ia akan mengulangi pertanyaan yang sama, dengan sedikit perubahan. “Siapa sih Cypri Aoer yang tiba-tiba mau menjadi pendamai? Dia ada di mana ketika orang Sirise berteriak dan menangis ketika hak-haknya dirampas?”
“Bentara” FLORES POS, Jumat 7 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar