Pelecehan Wartawan di Kabupaten Sikka
Oleh Frans Anggal
Tiga wartawan di Maumere, Kabupaten Sikka, melaporkan Kadis Kelautan dan Perikanan Bernadus Nita ke polisi. Sang kadis diduga telah melakukan pelecehan lewat kata-kata. Dia bilang, dia tidak punya uang untuk bayar wartawan. Orang pers biasa datang minta uang. Ia lalu menyuruh ketiga wartawan minta uang ke pihak lain (Flores Pos Selasa 4 Januari 2011).
Rabu minggu terakhir 2010, Slamet Kurniawan (San TV), Aloysius Yanlali (Suara Flores), dan Wento Agustinus Eliando (Flores File) mendatangi kantor dinas kelautan. Ketiga wartawan ini ingin menggali informasi tentang keributan antara kadis dan stafnya soal SPPD (uang) proyek rumput laut. Saat ditanyai tentang kasus itulah kadis lontarkan kata-kata yang dinilai melecehkan.
Boleh jadi benar, saat itu sang kadis tidak punya uang untuk bayar wartawan. Boleh jadi benar pula, orang pers biasa datang minta uang padanya. Mungkin itu pengalamannya. Pengalaman didatangi wartawan pengemis, wartawan pemeras, wartawan amplop, wartawan bodrex, wartawan bodong, wartawan calo proyek, dan lain-lain. Sayang, ia gegabah melakukan generalisasi. Dikiranya, semua wartawan seperti itu.
Titik paling mencuatkan sikap gegabahnya tampak ketika ia menyuruh ketiga wartawan pergi minta uang ke pihak lain. Lho, ketiga wartawan datang minta keterangan. Minta konfirmasi. Bukan minta uang. Kenapa dia menyuruh mereka menodong pihak lain? Ia telah salah sangka. Ia telah sesat pikir. Ia telah gegabah lakukan generalisasi.
Ilmu logika mendefinisikan generalisasi atau perumuman sebagai pernyataan yang merupakan penyimpulan bahwa apa yang berlaku pada sejumlah kecil anggota dari suatu himpunan berlaku pula bagi segenap anggota himpunan itu. Kalau beberapa wartawan mudah ditempeleng pakai uang, maka disimpulkan bahwa semua wartawan ya begitu.
Disiplin bernalar tidak membenarkan generalisasi. Namun, praksis kehidupan sosial menerimanya. Karena itu lahirlah peribahasa, “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Karena ulah beberapa wartawan pelacur profesi, rusaklah citra insan pers seluruhnya. Secara objektif, tidak demikian. Ulah tercela satu dua wartawan tidak otomatis meracuni semua jurnalis. Namun, secara subjektif, publik mempersepsikannya begitu. Publik mudah terperangkap generalisasi.
Kadis Bernadus Nita hanyalah salah satu dari banyak orang yang terperangkap sesat pikir atau sesat persepsi generalisasi. Disayangkan, tentunya. Ia pejabat, tapi payah dalam bernalar. Sudah begitu, ia tidak pandai mengendalikan diri. Apa yang ada di benak, langsung diseprotkan ke luar. Ia gagal berucap benar, setelah kandas berpikir teratur.
Pantas saja Bupati Sosimus Mitang kecewa. “Saya sudah bosan dengan sikap bawahan saya ini,” katanya. “Ia sering melakukan aksi tak terpuji, termasuk dengan bawahannya. Apa yang keluar dari mulutnya harus bisa dipertanggungjawabkan. Saya akan segera panggil dia.”
Di sisi lain, generalisasi Kadis Bernadus Nita ada hikmahnya. “Kasus ini harus menjadi bahan introsepksi bagi semua wartawan untuk lebih mengedepankan profesionalisme dalam bertugas,” kata wartawan TVRI Ruben Suban Raya. Tepat. Kedepankan profesionalisme.
Profesionalisme mengandung imperatif. Jadilah wartawan sejati. Bukan wartawan pengemis, wartawan penjilat, wartawan pesuruh, wartawan pemeras, wartawan amplop, wartawan bodrex, wartawan bodong, wartawan calo proyek, dst. Wartawan sejati butuhkan uang, tapi tak bisa dibeli dengan uang.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 5 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar