Pemugaran Situs Bung Karno di Ende
Oleh Frans Anggal
Wapres Boediono tiba di Ende, Selasa 28 Desember 2010. Didampingi delapan menteri. Ke Ende, wapres penuhi janjinya saat kampanye pilpres 2009. Yakni, memugar empat situs Bung Karno di Ende, tempat bersejarah selama 4 tahun sang proklamator jalani pengasingan oleh Belanda, 1934-1938.
Keempat situs itu: kediaman Bung Karno, Taman Pancasila tempat ia bersemadi merenungkan dasar negara, Gedung Immaculata tempat tonil-tonilnya dipentaskan, dan makam ibu mertuanya Ibu Amsih, ibunda Ny Inggit Garnasih.
Bung Karno diasingkan ke Ende sejak 14 Januari 1934 bersama istrinya Inggit Garnasih, mertuanya Ibu Amsih, anak angkatnya Ratna Juami, dan guru anak angkatnya Asmara Hadi. Dalam buku Bung Karno, Ilham dari Flores untuk Nusantara (Nusa Indah), dikisahkan tentang permenungan Bung Karno di bawah pohon sukun bercabang lima yang melahirkan gagasan Pancasila.
Fakta sejarah ini sesungguhnya menegaskan, Flores khususnya Ende telah memberikan sumbangsih sederhana tapi penting bagi keindonesiaan negeri ini. Metafora yang tepat bagi sumbangan itu adalah tikar. Ya, selembar tikar. Flores telah menjadi selembar tikar tempat Bung Karno bersemadi, merenungkan dan merumuskan hakikat berindonesia.
Tikar Flores itu bukanlah sajadah mewah hasil pabrikan. Bukan pula permadani kemilau hasil imporan. Ia hanyalah selembar tikar sederhana. Sangat sederhana, tapi bernilai. Sebab, ia terbuat dari lembar-lembar daun pandan pluralitas dan multikulturalitas Flores. Dianyam tangan-tangan toleransi, cinta damai, dan persaudaraan sejati.
Sejarah kemudian sepertinya beralur menyakitkan. Dalam derap pembangunan melewati gerbang kemerdekaaan, Flores seakan menjadi pulau terlupakan. Ia tertinggal karena ditinggalkan. Ia miskin karena dimiskinkan. Dan, situs-situs itu pun sepertinya ikut dilupakan, ditinggalkan, dianaktirikan. Pejabat-pejabat dari Jakarta datang, mengunjunginya, sekadar untuk tahu, lalu pulang untuk melupakannya kembali.
Juru Bicara Wapres yang juga Staf Khusus Bidang Media Massa Yopie Hidayat benar ketika mengatakan, situs Bung Karno di Ende kurang diperhatikan. Padahal, mengandung peninggalan bernilai sejarah tinggi. Antara lain, tulisan tangan naskah drama, buku-buku, dan naskah-naskah lain. "Di tempat itulah segala inspirasi tentang keindonesian dan dasar-dasar bernegara dirumuskan Bung Karno. Dengan kesejarahan yang tinggi, sayang sekali jika situs itu tidak dioptimumkan, tidak dipelihara dan dilestarikan."
Kediaman Bung Karno di Jalan Perwira, Kota Ende, misalnya. Yang menunjukkan rumah ini bernilai sejarah tinggi hanyalah sebuah papan nama sederhana: “Situs Bekas Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende”. Tanpa papan nama ini, tak ada “aha!” yang ditampilkan rumah 12 x 9 meter itu. Ia tenggalam di antara perumahan penduduk. Kondisinya semakin layak untuk dilupakan, bahkan untuk dianggap tak pernah ada.
Demikian pula Taman Pancasila. Eh, tiba-tiba berdiri patung Bung Karno dengan sentuhan artistik kelas rendah. Wajah dan sosoknya pun jauh dari citra Bung Karno. Patung siluman ini menghina sejarah dan keindahan. Sudah seharusnya segera diganti dengan yang pantas dan layak.
Mudah-mudahan, dengan dana renovasi Rp30 miliar yang sudah dianggarkan, situs Bung Karno di Ende menjadi lebih “aha!”. Ia harus menyedot perhatian, agar masyarakat tidak mudah melupakan sejarah. Justru inilah pesan pidato kenegaraan terakhir Bung Karno, 17 Agustus 1966. Jasmerah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah! Yah, jasmerah dari Flores.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 29 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar