Natal 2010 dan Lingkungan Hidup
Oleh Frans Anggal
Pesan Natal Bersama PGI-KWI Tahun 2010 menyinggung empat keprihatian dalam hidup bernegara dan bermasyarakat akhir-akhir ini. Keempatnya merupakan sisi gelap dalam peradaban. Kita semakin membutuhkan terang.
Keempat sisi gelap itu, pertama, menguatnya gejala kekerasan atas nama agama. Kedua, hadirnya penanggung jawab publik yang tidak sepenuhnya memperjuangkan kepentingan rakyat kebanyakan. Ketiga, menjauhnya masyarakat dari keadaan sejahtera. Keempat, semakin seringnya musibah dan bencana, baik karena faktor alami maupun karena kesalahan manusiawi.
Dalam kondisi seperti inilah kita merayakan Natal 2010. “Terang sejati itu sedang datang dan sungguh-sungguh ada di dalam kehidupan kita. Terang itu, Yesus Kristus, berkarya dan membuka wawasan baru bagi kesejahteraan umat manusia serta keutuhan ciptaan. Inilah semangat yang selayaknya menjiwai kita serta suasana di mana kita sedang menjalani pergumulan hidup.”
Terang itu datang untuk berkarya dan membuka wawasan baru bagi kesejahteraan umat manusia dan keutuhan ciptaan! Dalam konteks Flores dengan pergumulannya akhir-akhir ini, wawasan baru itu adalah cara seharusnya kita memandang dan memperlakukan lingkungan hidup.
Lingkungan bukan hanya instrumentum, sarana penyejahteraan masyarakat, tapi juga sacramentum, tanda kehadiran Allah. Alam ciptaan adalah bekas tangan-Nya, jejak kaki-Nya. Melukai alam, apalagi menghancurkannya, merupakan tindakan melukai, menghilangkan bekas dan jejak itu.
Tidak ada yang daya rusaknya begitu dahsyat dan massif terhadap alam selain tambang. Karena itulah, tambang dinamakan monster lingkungan. Tambang mengeruk dengan merusakkan dan menghancurkan lingkungan, tanpa bisa memulihkannya kembali. Tambang lebih banyak mudaratnya (cost) ketimbang berkatnya (benefit).
Sekadar contoh. Berapa sih harga 1 gram emas? Kurang lebih lima ratus ribu rupiah. Berapa yang harus dikorbakan demi mendapatkan 1 gram emas? Mengerikan! Satu gram emas didapatkan dengan membuang 2.100 kg limbah batuan dan tailing, yang mengandung 5,8 kg emisi beracun logam berat, timbal, Arsen, Merkuri, dan Sianida, yang menghancurkan lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat.
Dalam konteks ini, “harga” 1 gram emas sesungguhnya tidak hanya lima ratus ribu rupiah. Itu hanyalah harga yang tertera di toko perhiasan. Yang tidak tertera di sana adalah harga (baca: korban) penggusuran warga, pembabatan hutan lindung, perusakan kawasan produktif, pembuangan limbah berjumlah besar ke alam, yang menyertai pengerukan emas, nikel, tembaga, dan batubara.
Seperti apa dampaknya, kasus Buyat di Minahasa, Sulawesi Utara, telah bercerita banyak. Tiga bulan sejak Newmont membuang 2.000 ton limbah tailing setiap hari ke teluk Buyat, penghasilan nelayan menurun drastis. Beberapa tahun berikutnya makin banyak keluarga nelayan yang tak bisa bekerja karena sakit. Mulai tumor, sakit kepala akut, lumpuh, hingga gangguan reproduksi perempuan. Beberapa dari mereka meninggal setelah sakit berkepanjangan.
Itu kisah tambang emas. Di Flores, kisahnya kisah tambang mangan, di Serise, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur. Bupati dan uskup sudah menyaksikannya. Maka, keduanya mengambil sikap yang sama: tolak tambang. Inilah Natal itu. Terbukanya wawasan baru. Selamat datang, Terang!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 23 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar