Penganiayaan Warga di Nagekeo
Oleh Frans Anggal
Pegawai pada Kantor KPU Nagekeo Karolus Boromeus Seda dianiaya anggota Polres Ngada Piter Tefa di Mapolsek Aesesa, Rabu 8 Desember 2010. Paginya, korban ditilang aparat polsek karena tidak mengenakan helm. Sepeda motornya ditahan. Siangnya ia ke mapolsek untuk selesaikan kasus penilangan. Saat itulah ia dianiaya pelaku (Flores Pos Jumat 10 Desember 2010).
“Dia tanya saya, ‘Kau buat apa di sini dan kau orang mana?’ Saya jawab bahwa saya orang Aeramo dan datang karena tadi kena tilang,” tutur korban. Saat ia menyebut asal Aeramo, pelaku meninju pelipis dan bibirnya hingga berdarah. Pelaku lalu menanyakan SIM korban. Korban perlihatkan. Eh, pelaku meninju lagi bagian belakang korban.
Kita tidak tahu motif penganiayaan ini. Tampaknya tidak ada kaitan dengan penilangan. Boleh jadi, ada sesuatu di atau dengan Aeramo, wilayah asal korban. Sebab, saat korban menyebut Aeramo, pelaku melepaskan tinju. Ada apa di atau dengan Aeramo sehingga seorang anggota polisi bernama Piter Tefa begitu sensitif mendahulukan otot ketimbang otak? Kita tidak tahu. Mudah-mudahan proses selanjutnya bisa menjawab pertanyaan ini.
Satu hal yang sudah jelas, Piter Tefa bukan aparat Polsek Aesesa. Ia anggota Polsek Riung, bertugas di wilayah perbatasan Kabupaten Ngada dan Manggarai Timur. Ia ke wilayah Polsek Aesesa untuk mengambil gajinya di BRI Aesesa. Kedatangannya ke sini tanpa sepengatahuan atau seizin atasannya di Riung. Dia polisi bolos. Sudah bolos dari Polsek Riung, berlagak bertugas pula di Polsek Aesesa, menginterogasi pelanggar tiblantas.
Tidak hanya itu. Sudah bolos dan berlagak bertugas, menganiaya orang pula. Jadi, tidak hanya lakukan tindak indisiplin, dia juga lakukan tindak pidana. Dua tindakan ini berbeda ranahnya. Maka, seharusnya pula berbeda pemrosesan dan sanksinya. Yang pertama itu harus berujung pada sanksi indispliner. Yang kedua itu harus berujung pada sanksi pidana.
Ini perlu kita tekankan. Sebab, pada banyak kasus, kesalahan selalu direduksi menjadi kesalahan indisipliner saja. Maka, yang dilakukan cuma sidang kode etik internal. Paling lama hukumannya dua minggu. Kualitas kejahatan dari kesalahan itu tidak dilihat. Ini salah satu faktor mengapa budaya kekerasan tetap terpelihara dalam tubuh kepolisian.
Kita berharap Polres Ngada lebih maju. Tampaknya ada harapan, dari pernyataan Kapolres Muhamad Slamet. Ia menyatakan kecewa dengan tingkah laku anak buahnya. “Saya akan sikapi dan nanti saya minta Kapolsek Aesesa tahan dia. Kita akan proses.” Janji ini diperkuat pernyataan Wakapolres Ardian Mustakim. Dia meminta agar segera dibuat laporan polisi dan visum.
Selanjutnya? Hukuman disiplin saja tidak cukup. Seharusnya kapolres merekomendasikan proses lebih lanjut secara pidana. Hukuman administrasi tidak lengkap tanpa pertanggungjawaban pidana. Sanksi pidananya pun harus lebih berat daripada sanksi bagi pelaku pidana biasa. Sebab, polisi itu penegak hukum, yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat.
Dengan begitu, selain keadilan akan benar-benar ditegakkan dan tidak pandang bulu, langkah ini akan membawa efek jera kepada pelaku dan efek cegah kepada segenap anggota polres. Dengan itu pula, citra polres akan terangkat. Legitimasi polres di mata publik semakin kuat.
Di sisi lain, korban Karolus Boromeus Seda perlu proaktif memperjuangkan haknya atas keadilan. Rekannya di KPU Nagekeo kiranya memberi dukungan. Keadilan harus ditegakkan. Polisi harus diluruskan. Demi itu, berjuanglah!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 11 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar