DPRD Janjikan Perda Lindungi "Ola Noe"
Oleh Frans Anggal
Ratusan warga Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, datangi DPRD di Lewoleba, Senin 29 November 2010. Mereka minta pemerintah buat perda yang bisa lindungi budaya penangkapan ikan paus di Lamalera (Flores Pos Selasa 30 November 2010).
Dari Lamalera, Minggu pagi (28/11), mereka seberangi laut menuju Lewoleba, gunakan pledang (perahu penangkapan ikan paus). Tiba di Lewoleba sore hari. Mereka bermalam di pantai. Senin pagi (29/11) mereka berkaki 1,5 km ke DPRD.
Kelelahan mereka tak sia-sia. Jawaban DPRD melegakan. Ketua dewan Yohanes de Rosari meminta mereka tidak resah. UU Nomor 27 Tahun 2007 mengakui budaya masyarakat setempat. Nanti akan diatur lebih konkret dalam perda tentang zona pesisir dan kepulauan. Anggota dewan Bediona Philipus janjikan perda itu tidak akan menjadi batu sandungan bagi Lamalera.
Mendengar ini, masyarakat menangis. Mereka serahkan cenderamata miniatur pledang kepada ketua DPRD. Ini tangisan lega kedua. Sebelumnya, mereka ‘menangis’ lega karena keputusan Manado mencabut Laut Sawu Zona II sebagai satu-satunya kawasan konservasi nasional melindungi ikan paus. Sebab, bila rencana pemerintah pusat ini tidak dicabut, “ola noe” tradisi penangkapan ikan paus yang merupakan mata pencaharian satu-satunya dan turun-temurun masyarakat Lefo Lamalera akan hilang.
Hilangnya “ola noe” sama dengan hilangnya sumber ekonomi. Hilangnya “ola noe” juga berarti hilangnya budaya dengan nilai-nilai adiluhungnya. “Ola nue” sudah ada di Lamalera sejak tahun 1600-an. Nilai-nilai yang disangganya berjalin dengan nilai-nilai kristiani sejak masuknya Katolik di Lembata melalui Lamalera tahun 1886.
Paduan ini melahirkan budaya arif, yang tahu diri dan tahu batas. Masyarakat Lamalera sadar, ikan paus itu sumber nafkah. Ketersediaannya mesti dijaga. Maka, tangkapannya ukur-ukur, tidak serakah. Tidak di sembarang waktu. Tidak pula secara sembrono cari gampang dan cari untung ala orang ‘modern’ yang katanya ‘cerdas’. Penangkapan paus di Lamalera ditandai ritus adat dan agama.
Penangkapan berlangsung dari Mei (bulan Maria) hingga Oktober (bulan Maria). Selama enam bulan itu, Lamalera berdoa rosario. Sebelum melaut, 27-29 April dibuat upacara adat: persiapan lahir-batin dan rekonsiliasi. Pada 30 April, sore hari, misa mohon keselamatan arwah semua orang yang meninggal di laut. Pada 1 Mei, misa mohon keselamatan mereka yang akan melaut. Baru keesokan harinya, 2 Mei, mulai melaut. Lima hari seminggu. Sabtu dan Minggu istirahat. Hasil tangkapan dibagikan kepada semua warga kampung, mengutamakan para janda, yatim piatu, dan fakir miskin (“Bentara” Flores Pos Selasa 28 April 2009).
Kalau Anda ingin rasakan ejawantah konkret Pancasila---kesepakatan keindonesiaan yang makin tidak jelas itu---datanglah ke Lamalera. Ikuti seluruh rangkaian “ola noe” selama enam bulan. Semua butir Pancasila ada di sana. “Ola noe” adalah Pancasila yang hidup. Keindonesiaan sejati yang bertahan.
Apakah ini tidak perlu dikonservasi? Apakah konservasi versi WWF lebih hebat daripada konservasi ala Lamarera, yang sudah teruji dan terbukti ramah lingkungan selama empat abad? Jepang yang lebih moderen daripada kita justru mempertahankan sistem pengelolaan sumber daya pesisir berbasis masyarakat. Kita yang syok modern ini mau sepak buang semua itu. Hmmm.
Dalam konteks ini, kita hargai sikap tanggap DPRD Lembata. Mereka jamin, perda tentang zona pesisir dan kepulauan tidak akan jadi batu sandungan bagi “ola noe” di Lamalera. Bagus. Ini kabar baik bagi Lamalera.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 3 Desember 2010
1 komentar:
Kela Frans A. terima kasih atas info ini. Saya baru tahu bahwa upacara itu benar-benar ritual, bukan sekadar aktifitas ekonomis. Sekali lagi terima kasih... saya dukung 100% tah tradisi konservasi itu, krn luar biasa... ada dimensi etis dan ekologis dan teologisnya... tabe agu tiba momang do ga... Wrans Chiqu.
Posting Komentar