Prasasti Peresmian Desa di Flotim
Oleh Frans Anggal
Penjabat Bupati Flotim Muhammad S Wongso meresmikan desa baru, Desa Saosina, Kecamatan Adonara Timur, Jumat 26 November 2010. Pada kesempatan itu penjabat bupati menjejakkan tapak kaki kanannya di atas prasasti peresmian desa. Camat menjejakkan tapak kaki kiri. “Tapak kaki tersebut sebagai kenangan tak terlupakan bagi masyarakat Desa Saosina” (Flores Pos Senin 29 November 2010).
Sejauh diberitakan Flores Pos Januari-November 2010, ini peristiwa kedua di NTT. Sebelumnya, di Kupang. Dalam rangka kunjungan Presiden SBY dan ibu negara meresmikan Gong Perdamaian, pemkot membangun monumen di Taman Nostalgia. Anggarannya Rp1 miliar, dari APBD Perubahan 2010 yang belum ditetapkan tapi disetujui DPRD. Di taman ini dibangun pula Prasasti Tapak Kaki: tapak kaki gubernur, wabup, bupati, dan walikota se-NTT. Ini simbol perdamaian di NTT, kata Walikota Daniel Adoe (Flores Pos Kamis 22 Juli 2010).
Selain menelan dana yang duilah, prasasti ini janggal dalam simbolisasi. Kaki koq dijadikan simbol perdamaian. “Sejak kapan orang NTT berdamai pakai kaki? Sejak kapan ’jabat kaki’ menggantikan ’jabat tangan’?” kritik “Bentara” Flores Pos Jumat 23 Juli 2010.
“Simbol yang tepat: tapak tangan, yang ’menjulur’, ’menyambut’, bukan tapak kaki yang ’menginjak’. Apalagi tapak kaki pejabat. Mereka sudah tidak lagi berjalan kaki telanjang koq. Cocoknya: tapak sepatu! Dan itu bukan simbol perdamaian. Itu simbol penguasaan.”
Dalam hal simbolisasi, jejak tapak kaki pada prasasti peresmian Desa Saosina di Flotim lebih masuk akal. Fakta: penjabat bupati “menjejak” desa itu, kiasan untuk “mengunjungi”. Saosina adalah 1 dari 4 desa baru yang “dijejak”-nya untuk diresmikan. Desa baru lainnya: Latonliwo, Lelenbala, dan Lewomuda.
Yang jadi pertanyaan kita: mengapa perlakukan terhadap prasasti begitu berubah? Dulu, prasasti bikinan pemerintah cukup hanya ditandatangani pejabat. Tanda tangan itu kemudian dipahat jadi relief, selesai. Sekarang koq itu saja dianggap tidak cukup. Sudah ada “tanda tangan”, masih dianggap perlu lagi ada “tanda kaki”. Jadinya, prasasti peresmian Desa Saosina tidak hanya “ditandatangani” tapi juga “ditandakakii” oleh penjabat bupati.
Kenapa bisa begini? Apakah karena orang-orang pemerintah gemar nonton acara “Kick Andy” di Metro TV? Sehingga terinspirasi lakukan “kick pejabat” pada prasasti? Per definisi, prasasti adalah piagam, tulisan pada batu atau logam. Tulisan itu, kecuali pada orang cacat, selalu gunakan tangan. Untuk mengesahkannya, dibubuhlah tanda yang juga gunakan tangan. Itulah tanda tangan (Inggris: signature, Latin: signatura). Itu sudah cukup.
Tanda kaki hanya bikin prasasti jadi janggal. Pasasti itu piagam. Yang membedakannya dari piagam lain hanyalah mediumnya. Piagam lain gunakan wadah lunak (kertas dll), sedangkan prasasti gunakan wadah keras (batu atau logam). Keduanya sama-sama piagam. Kalau pada piagam lain, seperti ijazah, tanda kaki dinilai tidak pantas, lalu kenapa pada prasasti dianggap wajar?
Dengan kata lain, kita tidak temukan dasar rasional prasasti dibubuhi tanda kaki. Pada peristiwa “kick pejabat” di Desa Saosina, dasar itu dirumuskan indah. “Tapak kaki tersebut sebagai kenangan tak terlupakan bagi masyarakat Desa Saosina”.
Aha! Kenangan itu satu hal, peresmian desa itu hal lain. Kalau keduanya diabadikan pada prasasti berbeda, tidak jadi soal. Tapi kalau di-satu-prasasti-kan, ini bisa gawat. Lama-lama nanti surat-surat dinas di Flotim bisa disahkan pakai kaki. Redaksinya pun bisa diubah. “Yang bertanda kaki di bawah ini ….” Apakah tidak lucu?
“Bentara” FLORES POS, Rabu 1 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar