Aksi Solidaritas Keuskupan Maumere
Oleh Frans Anggal
Umat Katolik Keuskupan Maumere berhasil mengumpulkan dana Rp90.671.000 bagi korban bencana alam banjir di Wasior, tsunami di Mentawai, letusan Merapi di Jawa, dan tenggelamnya KM Karya Pinang di Sikka. Sebanyak Rp82.921.000 diperuntukkan bagi Wasior-Mentawai-Merapi, sedangkan Rp7.750.000 diserahkan kepada keluarga korban Karya Pinang (Flores Pos Jumat 17 Desember 2010).
Sebelumnya, Uskup Maumere Mgr G Kherubim Pareira SVD mengimbau para imam, calon imam, rohaniwan-rohaniwati, dan seluruh umat keuskupan mengumpulkan sumbangan melalui kolekte dll bagi para korban. Kolekte solidaritas dilakukan serempak pada Minggu 14 November 2010 (Flores Pos Sabtu 6 November 2010).
Uskup memberi apreasiasi atas kepedulian dan spontanitas umat Katolik yang telah membantu para korban. “Antusiasme umat dalam galang solidaritas ini memberi harapan untuk aksi solidaritas keuskupan yang akan diadalan di Keuskupan Maumere mulai bulan Januari 2011,” kata uskup.
Aksi dimaksud, antara lain, Gerakan Seribu Rupiah (Geser), kata Sekretaris Keuskupan Romo Richrad Muga Buku Pr. Tiap umat mengumpulkan dana solidaritas seribu rupiah per bulan. “Aksi ini merupakan satu terobosan pastoral membangun keuskupan dalam semangat solidaritas,” katanya.
Betapa bernilai, penting, dan bergunanya dana dan aksi solidaritas tidak perlu diuraikan lagi. Soldaritas bukan hal baru. Adat istiadat yang telah berjalan jauh sebelum gereja institusi hadir, telah mengenalnya. “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”,sekadar contoh, adalah ungkapan klasik, endapan penghayatan dan pengamalan solidaritas dalam masyarakat.
Dengan sumber daya kultural seperti ini, diperkuat dengan penyadaran umat melalui katekese selama masa Adventus, aksi solidaritas Keuskupan Maumere tidak bakal temukan banyak kesulitan. Umat akan welcome. Kalaupun umat bertanya-tanya, pangkal tolaknya bukan soal nilai dan kegunaannya, tapi soal menajemennya.
Harapan umat tidak tinggi-tinggi. Sederhana saja, seperti amanat Kitab Hukum Kanonik. Pengelola hendaknya memenuhi tugasnya dengan kesungguhan seorang bapa keluarga yang baik. Harta benda yang dipercayakan hendaknya diawasi betul agar tidak hilang atau diselewengkan.
Di sisi lain, aksi solidaritas karitatif saja tidaklah cukup. Gereja dipanggil untuk bertolak lebih ke dalam, ke akar, untuk meruntuhkan sistem yang lahirkan ketidakadilan. Dalam istilah sosiolog George Junus Aditjondro, pelayanan gereja tidak boleh berhenti pada “diakonia palang merah”, tapi harus masuk ke “diakonia palang pintu”. Kalau “diakonia palang merah” hanya mengobati luka-luka pembangunan, maka “diakonia palang pintu” mencegah jatuhnya korban akibat sistem yang menindas.
Istilah itu digunakan Aditjondro ketika menjadi pembicara pada Pertemuan Tahun Peduli Kemiskinan Keuskupan Ruteng, April 2009. Konteks sorotannya adalah dampak industri pertambangan yang menghancurkan lingkungan dan merugikan rakyat kecil. Pertemuan ini membuahkan hasil nyata, kemudian. Bukan duit! Tapi, sikap jelas-tegas Gereja Keuskupan Ruteng: tolak tambang.
Gereja institusi tidak punya kecerdasan teknis ataupun teknologi untuk mengatasi dampak pertambangan. Gereja “hanya” punya kecerdasan sebagai ‘ahli bidang kemanusiaan’ (an expert in humanity). Justru karena itu, gereja dipanggil dan diutus untuk mencegah. Ya, diakonia palang pintu!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 18 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar