21 Desember 2010

“Lex” Gantikan “Iustitia”

Kasus Pakaian Linmas Kabuparen Sikka

Oleh Frans Anggal

Mantan Kasat Pol PP Kabupaten Sikka Emanuel Hurint divonis 1 tahun 8 bulan penjara oleh majelis hakim PN Maumere, Jumat 17 Desember 2010. Putusan ini lebih rendah dari tuntutan jaksa 2 tahun penjara. Terdakwa bersama 5 anggota panitia swakelola dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi pengadaan pakaian linmas Rp309 juta yang menyebabkan negara dirugikan (Flores Pos Sabtu 18 Desember 2010).

Selain divonis penjara, terdakwa diwajibkan membayar denda Rp51 juta secara tanggung renteng dengan 5 anggota panitia swakelola atau (subsidier) 6 bulan penjara jika denda tidak terbayar. Putusan ini menyebabkan sidang nyaris ricuh. Usai pembacaan vonis, Istri terdakwa, Maria T. Daba, dan anggota keluarga mendatangi meja jaksa---pihak yang dinilai lakukan mafia hukum.

“Kami ini tidak punya uang untuk suap. Kami ini hanya berjuang sesuai prinsip kebenaran dan keadilan. Kami hanya takut Tuhan. Kami minta agar penegak hukum segera tahan 5 anggota pantia swakelola. Uccu, Adi Junata, dan bupati serta sekda yang berkuasa saat proyek berjalan harus diproses,” kata Maria T. Daba. “Uccu yang bertanggung jawab …. Ia harus diproses dan ditahan,” kata terdakwa Emanuel Hurint.

Kelima anggota panitia swakelola adalah Dominikus Dion, Petrus Pau, Yeremias Dewa, Kanisius Togo, dan Agustinus Akar. Sedangkan Uccu alias Stefanus Tanto dan Adi Junata adalah rekanan. Bupati yang menjabat saat itu Alexander Longginus (kini wakil ketua DPRD Sikka), sedangkan sekda Sabinus Nabu (kini ketua Yayasan Nusanipa).

Sejak diproses Juli 2010, penanganan kasus ini janggal. Dalam berbagai kesempatan, Maria T. Daba menyatakan suaminya ditumbalkan untuk meluputkan orang besar. Demi setingan itu, salah satu matai rantai kasus diputus. Hingga kini, rekanan Uccu dan Adi Junata masih hanya berstatus saksi. Seolah-olah pakaian linmas jatuh dari langit. Pengadaannya tidak melalui hubungan transaksional dengan kedua rekanan.

Logika tumbal tadi menguatkan keyakinan kita. Kedua rekanan tidak di-tersangka-kan---untuk selanjutnya di-terdakwa-kan dan di-tersidang-kan---agar keduanya tidak “bernyanyi”. Kalau keduanya “bernyanyi” maka terbongkarlah apa yang sesungguhnya terjadi. Apakah itu?

”Suami saya sebagai kasat pol PP waktu itu bekerja di bawah tekanan ... selalu diintervensi oknum-oknum pejabat,” kata Maria T Daba. Menurutnya, yang bertanggung jawab adalah bupati dan sekda, saat itu Alexander Longginus dan Sabinus Nabu (Flores Pos Sabtu 24 Juli 2010). Namun, kata Longginus, ia hanya bertanggung jawab dalam hal kebijakan (Flores Pos Sabtu 24 Juli 2010). Dengan kata lain, pembuat kebijakan tidak salah. Yang salah, pelaksana teknis.

Banyak kasus seperti itu. Bupatinya luput, kepala SKPD-nya semaput. Ini karena penegakan hukum direduksi menjadi sekadar persoalan teknis. Anda licik, Anda luput. Anda jujur, Anda hancur. Kebertautan dengan keadilan---untuk apa hukum itu ada---mengabur. Hukum sekadar mengabdi kepentingan hukum itu sendiri (law for law’s sake). Jadilah ia semacam agama-nya polisi, jaksa, dan hakim. Agama tanpa religiositas. Huruf hukum tanpa jiwa hukum.

Semboyannya pun mengerikan. Dari Fiat iustitia, ruat caelum (keadilan harus dimenangkan meski langit akan runtuh) menjadi sekadar Fiat lex, ruat caelum (hukum harus ditegakkan meski langit runtuh). Lex (hukum) tidak lagi mengabdi tapi menggantikan iustitia (keadilan). Polisi, jaksa, dan hakim pun sekadar menjadi budak hukum, bukan lagi hamba-hamba keadilan. Ah!

“Bentara” FLORES POS, Senin 20 Desember 2010

Tidak ada komentar: