Rekayasa Konflik Horizontal Pro-Kontra Tambang
Oleh Frans Anggal
Massa dari Kedang yang hendak lakukan demo dukung ranperda RTRW Lembata, diadang dan diusir di Lewolein oleh warga tiga desa pesisir Kecamatan Lebatukan, Rabu 1 November 2010. Ribuan warga dari Desa Tapobaran, Tapolangu, dan Dikesare memaksa 60-an orang yang mengendarai 4 mobil dan 20 sepeda motor itu kembali ke Kedang (Flores Pos Kamis 2 Desember 2010).
Massa dari Kedang itu gagal bergabung dengan 20-an anggota Forum Lembata Bersatu untuk Pembaruan (FLBP) pimpinan Samsudin Botung Raba yang hari itu berdemo di Lewoleba. FLBP mendesak DPRD teruskan pembahasan ranperda RTRW serta tidak gugurkan pasal 50 yang memuat frasa “mineral, logam, dan radioaktif”. Desakan FLBP berlawanan dengan desakan demo 2.000-an massa tolak tambang pada Rabu 24 November.
Pengadangan dan pengusiran itu terjadi siang hari. Sore harinya, sekelompok pemuda di Desa Dikesare memukul berdarah Rusdi Wakong, Kades Balauring, Kecamatan Omesuri, yang sedang menuju Lewoleba (Flores Pos Jumat 3 Desember 2010). “Saya tidak ada urusan dengan tambang,” kata Rusdi Wakong. “Saya ke Lewoleba untuk urusan di kantor pengadilan agama dan bagian hukum setda untuk urusan APBD desa.”
Meski dibantahnya, pemukulan itu ada kaitan dengan tambang. Ada kaitan dengan pengadangan dan pengusiran massa dari Kedang. Dalam kaitan dengan ini, Rusdi Wakong membuat pernyataan yang melecehkan. Dia bilang, “Jangan bicara dengan masyarakat Lewolein yang bodoh. Orang mau demo, mereka hadang.” Kata-kata ini membuat warga marah dan memukulnya.
Apa yang terjadi ini tampak sebagai konflik horizontal antar-masyarakat. Sesungguhnya tidak. Ini konflik antara elite politik dan masyarakat. Konflik antara pemkab ngotot tambang dan masyarakat adat tolak tambang. Konflik ini dilemparkan ke masyarakat agar seolah-olah konflik horizontal.
Berkat pendampingan dan penyadaran oleh elemen civil society, masyarakat adat tolak tambang kini miliki tiga kekuatan: solidaritas, soliditas, dan militansi. Kekuatan ini tidak bisa ditembus oleh bupati dan sebagian DPRD pendukung tambang. Sosialisasi tambang selalu gagal. Ini bikin pemkab frustrasi. Betapa tidak, uang jaminan kesungguhan dari investor bernilai miliaran rupiah sudah mereka terima, sementara jaminan keberterimaan tambang di masyaakat kosong melompong.
Gagal di sosialisasi, jalan lain bagi tambang pun ditempuh. Jalan regulasi. Melalui ranperda RTRW. Jalan ini pun mendapat perlawanan keras dari masyarakat tolak tambang. Demo Rabu 24 November 2010 memperlihatkan itu. Sekitar 2.000-an massa, sebagian besar ibu-ibu, menolak pasal krusial ranperda. Ini demo terbesar. Tamparan bagi bupati dan sebagian anggota DPRD.
Apa reaksi pemkab? Mudah ditebak. Kedok ini disingkap oleh Pater Marselinus Vande Raring SVD. Demo ya dibalas demo juga. Ia menyebut demo FLBP pada Rabu 1 November 2010 itu sebagai demo tandingan. Demo itu dibiayai oleh pemkab Lembata dan oknum anggota dewan pendukung tambang.
Melihat fenomena ini, Pater Vande mengajak masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh hasutan memecah belah. Ajakan yang tepat. Kita khawatir dengan fenomena terakhir ini. Setelah sosialisasi tambang ke masyarakat itu gagal, dan ranperda RTRW jalan masuk tambang itu kandas, pertarungan kini dilemparkan ke masyarakat, seolah-olah konflik horizontal.
Yang kita khawatirkan, yang seolah-olah ini akan menjadi yang sungguh-sungguh. Apalagi kalau sudah mulai dengan aroma sentimen agama. Ini sudah kejahatan. Lembata perlu segera diselamatkan.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 4 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar